30.4.12
UU KKG, Tubuh Perempuan, dan Pasar
Diterbitkan pada Opini Koran Jawa Pos edisi Senin (30/4/2012)
***
Dunia
bisnis berkembang pesat dan diwarnai dengan kejutan-kejutan baru. Memaksa para
pemasar memeras kreatifitas untuk survive di medan kompetisi super ketat. Beragam
cara dilakukan demi memenangkan persaingan yang tidak sekadar saling sikut
sebagaimana terjadi pada Abad 20 lampau,
tapi kini persaingan bahkan berubah menjadi saling membunuh.
“Nabi
Pemasaran” Philip Kotler (1931) di dalam bukunya Principles of Marketing
membuat formula pemasaran fenomenal dan menjadi panduan tim pemasar perusahaan
global untuk berlaga merebut hati pelanggan. Formula itu disebut marketing mix atau bauran pemasaran yang
terdiri dari 4 P (Product, Price, Place and Promotion).
Bahwa
untuk memenangkan hati pelanggan melalui penetrasi pasar yang dalam, maka
pemasar harus mengelaborasi aspek kualitas produk (product) yang kompetitif,
harga (price) yang terjangkau, lokasi (place) yang strategis dan promosi (promotion)
yang berkesinambungan. Namun kerasnya persaingan memaksa formula 4 P direvisi dalam
prakteknya menjadi 5 P dengan “P”
tambahan yang berarti Perempuan. Selain empat variabel di atas, kini variabel
perempuan menjadi warna baru dalam dunia bisnis. Menjadi kekuatan magnetis
menyihir pelanggan sebagai medium promosi.
Rekonstruksi
pasar telah menjadikan perempuan sebagai salah satu variabel atau bahkan
sebagai benchmark dengan menampilkan artis perempuan papan atas untuk
menguatkan pesan merek ke benak konsumen. Pada posisi ini, perempuan menjadi higlight
(sorotan) dalam rangkaian panjang afirmasi pengambilan keputusan untuk membeli
suatu produk.
Menyeret
perempuan ke tengah pusaran pasar tidak
berjalan tunggal, tetapi melibatkan banyak komponen yang terintegrasi dalam
satu desain komunikasi pemasaran audio, visual atau audio-visual. Dalam kajian
feminisme dan keadilan gender, menempatkan perempuan sebagai stimulus pasar
merupakan satu bentuk soft discrimination. Diskriminasi terhadap
perempuan namun tanpa kekerasan fisik.
Telaah
transmisi feminisme oleh Joanne Hollows (2000) mengungkapkan jika posisi
perempuan di sini sebagai bagian dari lintasan produksi ke mediasi. Barang yang
diiklankan bergerak diantara rezim nilai yang mereproduksi paradigma baru untuk
memikat hati konsumen. Kita ambil contoh iklan otomotif yang tidak ada
kaitannya langsung dengan perempuan dijual dan ditawarkan melalui perempuan
seksi berpakaian mini. Hal ini terang menyiratkan bahwa sang model (sales promotion
girl) menjadikan tubuhnya sebagai medium magnetis dalam menjual produk otomotif.
Dengan demikian, terjadi integrasi antara otomotif dan tubuh
perempuan dalam mainstream pasar. Hal ini layak kita baca sebagai diskriminasi.
Ia merupakan soft violence (kekerasan secara halus) yang dikendalikan dengan
kesadaran paradigmatis logika bisnis.
Hal lain yang dapat kita temui pada pengemasan iklan otomotif
yang memajang wanita sebagai object of men’s desire (objek keinginan
pria) adalah bahwa wanita selalu bersifat materialistis seperti diilustrasikan
pada iklan motor merk kenamaan, dimana seorang wanita lebih tertarik kepada
pria yang menggunakan motor keluaran terbaru tersebut ketimbang tertarik dengan
pria bermotor butut. Dalam
hal ini, telah terjadi labelisasi materialistik pada perempuan.
Urgen Diatur di UU KKG
Menjadi menarik kita telaah dalam kaitannya
dengan Rancangan Undang Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender yang saat ini
menuai polemik dan memantik perdebatan. Pasal 3 ayat 1 (f) Draf RUU KKG
menyatakan bahwa penyelenggaraan kesetaraan gender bertujuan untuk menghapus
prasangka, kebiasaan dan segala praktik lainnya yang didasarkan atas
inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasarkan
peranan stereriotipe bagi perempuan dan laki-laki.
Jika dikonfrontir dengan contoh kasus dan penjelasan di atas,
labelisasi materialistik dan sensualitas perempuan, jelas merupakan bagian dari
diskriminas seperti ‘prasangka’ yang dimaksud oleh pasal 3 ayat 1 (f) diatas.
Inilah yang disebut oleh Aquarini
Priyatna P. dalam bukunya Kajian Budaya Feminis (2006) sebagai komodifikasi sensualitas
perempuan. Banyak sekali produk yang tidak ada hubungannya dengan tubuh
perempuan, menampilkan tubuh perempuan sebagai selling point bagi produk
itu, atau menjadi variebel ke lima dari 5 P dalam formula marketing mix
Philip Kotler.
Dalam membaca kecantikan wanita yang dikonstruksi oleh pasar,
pikiran kita akan dibawa kepada wacana bahwa cantik itu putih. Iklan yang
menonjolkan tubuh perempuan sebagai medium artifialisasi menegaskan wacana
serupa, yakni kulit putih itu cantik. Pemutih tidak hanya muncul dalam bentuk
krim, tetapi juga pada facial wash, lotion, sabun, sampai bedak. Bahkan yang
terakhir, sebuah brand deodoran ternama menawarkan sensasi putih pada ketiak
sebagai sesuatu yang harus diperoleh wanita Indonesia.
Obsesi terhadap putih dan segala sesuatu yang ditandai
sebagai putih, sebagaimana yang dinyatakan Aquarini dari Bell Hooks, dapat
dikategorikan sebagai suatu colonial nostalgia bahkan mungkin colonial
traumatic. Kulit putih telah berhasil mewacana sebagai desirable
(menarik) dan desired (diinginkan). Pergeseran image putih memang telah
bergeser dari putih ras Eurasia ke putih khas Jepang dan Korea. Maka tampillah
iklan sabun pemutih dengan slogan “seputih wanita Jepang.” Putih atau menjadi
putih seakan menjadi keharusan bagi wanita Indonesia untuk dikatakan cantik.
Putih telah menjelma dari pertanda ras menjadi pertanda femininitas global.
Menjadi cantik dalam perspektif masyarakat global. Kini pasar beramai-ramai
mengindoktrinasi perempuan untuk memiliki kulit putih versi Asia Timur.
Kejahatan rasial ini
tentu sangat menyakitkan bagi perempuan Indonesia pada umumnya yang berkulit
sawo matang. Terlebih wanita Indonesia dari wilayah timur yang dikodratkan berkulit
gelap oleh Sang Pencipta. Kulit putih direpresentasikan sebagai modern dan
bersih, sementara kulit gelap atau hitam digiring untuk menimbulkan kesan kuno.
Permainan pasar yang kapitalis telah menggiring opini publik tentang wanita
menjadi kejahatan diskriminasi mengerikan, yang justru tidak disadari oleh
wanita. Wanita telah menjelma menjadi komoditi pasar industri dengan
sensualitas yang dijajakannya, sementara wanita yang lain bersibuk diperbudak
doktrinasi ‘putih’ yang diciptakan pasar.
Untuk melindungi perempuan, maka tafsir diskriminasi pada Bab
I pasal 1 ayat 4 Draft RUU KKG harus dipertegas. Disebutkan bawah diskriminasi
adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk
kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai
pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan
manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang
politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari
status perkawainan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.”
Selayaknya, RUU KKG juga tidak hanya menyoroti diskriminasi
langsung secara fisik yang didapatkan perempuan. Perlindungan negara terhadap
perempuan dari kejahatan pasar yang menempatkan perempuan sebagai komoditas dan
korban ideologi pasar yang rasialis, tak kalah mendesaknya. Jangan sampai RUU
KKG berakhir taksa. Di satu sisi ia mencipta panggung perayaan kebebasan dan
keadilan perempuan di ruang publik, tetapi di sisi lain gagal membaca soft
discrimination yang telah sekian lama mengeksploitasi tubuh perempuan. Bila
ada hak yang dijamin oleh negara terhadap wanita, maka hak dan perlindungan
negara terhadap perempuan dari kekejaman kapitalisme global-lah yang mendesak
dirumuskan dalam RUU KKG.
Sudah saatnya praktik-praktik diskriminasi terhadap perempuan
di dunia industri dihentikan. Selamatkan
perempuan dari jerat pasar. Pemerintah harus cakap menerapkan mekanisme kontrol
terhadap iklan-iklan nakal yang merebak dipasaran yang menempatkan tubuh
perempuan sebagai komoditas layaknya barang dagangan. (original version)
*Oleh IVA WULANDARI | Penulis adalah Pegiat Kajian Wanita, Fakultas Bahasa dan
Seni Universitas Negeri Yogyakarta | Analis Pusat Kajian dan Advokasi (PUSAKA)
Pendidikan Yogyakarta