Diterbitkan di Opini Koran FAJAR edisi Jum'at (6/4/2012)
***
Alih-alih
menjadi solusi, Rapat Paripurna DPR RI yang berlangsung hingga Sabtu (31/3)
dini hari, justru menjadi ironi. Menambah masalah baru. Politisi Senayan yang
semestinya mengartikulasikan aspirasi rakyat, malah memainkan parade politik gaya
usangnya. Kompromistik dalam konsesi politik, namun mengorbakan kepentingan
publik. Aspirasi jelata jauh panggang dari api, energi bangsa bakal tersedot
lagi.
|
Absurditas Wajah Politisi |
Setelah
sebelumnya berlarut-larut dalam dialektika ekonomi dan politik, putusan
Paripurna DPR RI kini “menjebak subsidi BBM” ke dalam tiga irisan masalah ,
yaitu ekonomi, politik dan hukum. Persoalan hukum muncul setelah pasal 7 ayat 6a
UU APBN-P 2012 yang dinilai melanggar peraturan perundangan lainnya diketok
palu oleh DPR.
Seperti
diutarakan oleh mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza
Mahendra, bahwa pasal 7 ayat 6a menabrak Pasal 33
UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Serta juga bertentangan dengan
syarat-syarat formil pembentukan UU sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 tahun
2011.
Tahun 2003, Mahkamah Konstitusi (MK)
juga telah memutuskan dalam perkara pengujian UU Migas bahwa harga jual minyak
dan gas tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar, karena migas menyangkut
sumber kekayaan alam yang berkaitan dengan hajat kehidupan orang banyak yang
berada dalam kekuasaan negara. Namun penafsiran terhadap ayat 6a berarti bahwa
harga eceran migas boleh dinaikkan atau diturunkan apabila terdapat kenaikan 15
persen harga minyak produksi Indonesia (ICP) di pasaran internasional dalam
waktu 6 bulan ke depan.
Kegeraman
sejumlah pihak, utamanya aktivis mahasiswa dan buruh yang selama ini telah
melakukan penolakan terhadap kenaikan harga BBM melalui panggung parlemen
jalanan, tidak bisa diredam. Sehingga sampai saat ini artikulasi aspirasi
melalui demonstrasi masih sangat ramai di sejumlah daerah seperti Sulbar,
Makassar, Surabaya dan Medan.
Di
jakarta, karena jangkauan advokasi melalui jalur hukum relatif lebih mudah, para
aktivis menempuh langkah uji materi soal ayat paradoks tersebut seperti langkah
yang ditempuh oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan
beberapa organisasi lainnya. Namun tak menutup kemungkinan Ibu Kota kembali
diguncang aksi massa pekan-pekan mendatang. Jika aksi massa ini terjadi secara
eskalatif, maka tentu merugikan karena mengganggu stabilitas sosial, ekonomi
dan politik Ibu Kota.
Perspektif Ekonomi
Dari
perspektif ekonomi, pasal 7 ayat 6a, menjadi bayang-bayang hitam yang
menghantui perekonomian kita. Perekonomian tersandera karena saat ini trend
harga minyak dunia terus mengalami kenaikan dan mendekat ke angka legitimatif bagi
pemerintah untuk menaikkan harga BBM berdasar UU APBNP 2012. Kenaikan BBM yang
bisa terjadi kapan saja dan dalam besaran harga berapa saja, secara psikologi
tentu menekan daya beli masyarakat yang memang belum normal akibat naiknya
harga beberapa komidit yang bahkan mencapai 100 persen dipicu rencana kenaikan
harga BBM, seperti harga cabai yang mengungkit tambahan inflasi hingga 0,7 persen.
Tak
hanya itu, melemahnya daya beli masyarakat juga dikarenakan mereka lebih
berorientasi untuk menabung ketimbang konsumtif, sebagai bentuk langkah
preventif jika sewaktu-waktu harga BBM naik. Seperti intruksi Presiden SBY
dalam pidatonya yang meminta pemerintah daerah “mengencangkan ikat pinggang”
atau berhemat.
Data
terakhir menunjukkan fluktiasi varian harga minyak
dunia. Untuk NYMEX (New York Mercantile Exchange) mengalami pelemahan harga di
angka 103 dolar AS per barel. Harga minyak brent rata-rata 120 dolar AS,
sedangkan harga ICP sudah seharga 122 dolar AS per Maret 2012. Artinya, berdasarkan
pasal 7 ayat 6a UU APBN-P, jika pada tiga bulan ke depan (enam bulan terhitung
dari Januari) harga ICP di atas 120,75 dolar AS, harga BBM akan dinaikkan.
Kenaikan harga BBM, seperti telah banyak
diuraikan tentu berdampak sistemik bagi kehidupan ekonomi dan bahkan sosial
kita karena akan memperbesar jumlah penduduk miskin serta pengangguran
disebabkan oleh minimnya permintaan tenaga kerja sebagai bentuk efisiensi
perusahaan dalam menekan biaya produksi di tengah menurunnya demand dan
kelesuan pasar.
Sementara
harga-harga kebutuhan yang sebelumnya tergerek naik oleh rencana penaikan harga
BBM, sampai sekarang belum atau bahkan tidak turun akibat ulah spekulan yang
memanfaatkan momentum meraup untung. Melihat persoalan ini, pemerintah tidak
tegas dalam memantau pasar sehingga lagi-lagi rakyat yang menjadi korban. Harga
BBM belum naik, namun konsumsi dan pengeluaran telah bertambah. Maka peran
kendali pemerintah telah lepas, perekonomian terseret ke ruang besar
liberalisasi yang mengeliminasi daya jangkau masyarakat.
Menyandera
Demokrat
Agenda
politik kesejahteraan yang jamak dijadikan jualan oleh parpol, kembali
dipertanyakan. Panggung politik justru dihiasi tarian erotis pragmatisme
politik. Kepentingan kelompok mendominasi dan semakin menguak stigma inkonsistensi
parpol yang berujung pada apatisme dan deparpolisasi. Tamak kekuasaan
dialamatkan kepada sang artikulator demokrasi ini. Kepentingan rakyat tereduksi.
|
Topeng Kepalsuan |
Padahal,
dalam bahasa publik soal kenaikan harga BBM, sebagian besar parpol justru
mengatakan menolak kenaikan harga BBM. Namun dalam drama politik di ruang DPR,
bahasa publik termentahkan dengan bahasa kompromistik transaksional. Terjadi
adalah politik dua muka.
Politik
dua muka yang juga banyak dipuji baik oleh internal maupun eksternal karena dipandang
sebagai skill touch mengegolekan agenda setting, seperti
dipraktekkan oleh Partai Golkar. Sekjen Golkar, Idrus Marham saat konferensi
pers menyampaikan partai besutan Abu Rizal Bakrie tersebut memandang jika saat
ini tidak perlu menaikkan harga BBM dan domain menaikkan harga BBM diserahkan
sepenuhnya kepada pemerintah. Golkar kata Idrus, bersikap kritis dan
berpandangan perlu tetap mempertahankan harga BBM saat ini. Poin-poin tersebut
mengisyaratkan Golkar kritis, tapi
kemudian lepas tangan.
Ketika
detik-detik menegangkan di ruang paripurna berujung kegaduhan, Golkar tampil sebagai pahlawan dengan menawarkan
“opsi alternatif”. Yaitu tambahan ayat 6a pada pasal 7, dalam drama voting yang
kemudian menjadi polemik baru. Hal ini mengindikasikan kematangan politik dan kemenangan
Golkar secara agenda setting walau dipertaruhkan dengan integritas politik
Golkar yang justru terkoreksi karena kesan plin plan dan cuci tangan. Golkar
memberi ruang penaikan harga BBM kepada pemerintah sehingga opsi tawaran Golkar menyandera partai
Demokrat.
Jika tiba-tiba harga minyak dunia melonjak sementara pemilu 2014 semakin dekat, Demokrat justru akan tersandera. Antara menyelamatkan APBN dari tekanan subsidi atau menyelamatkan citra partai. Posisi terpojok partai besutan SBY ini menjadi momentum bagi Golkar melancarkan serangan babak selanjutnya dengan memperkuat branding sebagai partai rakyat, seperti slogan suara Gokar suara rakyat. Model kampanye ini masih menemukan titik relevansi dengan pemilih Golkar yang berasal dari basis tradisional.
Dari
tiga irisan analisis di atas, Paripurna DPR malah melahirkan produk perundangan
ironis tanpa mengakhiri kegaduhan yang terjadi. Energi publik kemudian habis
tersedot menyoal BBM, semantara kasus-kasus hukum yang sebelumnya diredam oleh
isu BBM nampak terlupakan. Seperti kasus Wisma Atlet, Hambalang, Skandal Bank
Century dan Mafia Pajak. Lagi-lagi, kepentingan kolektif bangsa terabaikan oleh
aksi teatrikal politisi Senayan.