Diterbitkan di kolom opini Koran Jurnal Nasional edisi Selasa (24/4/2012)
***
JOHN Perkins (2007) percaya bahwa kebangkrutan, krisis ekonomi dan ketidakadilan di berbagai belahan dunia tak lepas dari andil Amerika Serikat yang memperalat lembaga keuangan internasional sebagai saluran untuk mengalirkan kekayaan, utamanya dari negara berkembang ke negara maju. Senada dengan Perkins, Joseph E Stiglitz (2006) juga menegaskan bahwa mandulnya fungsi lembaga keuangan internasional yang semestinya menjembatani negara miskin dan negara kaya untuk maju secara seimbang, diawali oleh tidak transprannya proses pemilihan pimpinan berbagai lembaga keuangan internasional seperti pemilihan Presiden Bank Dunia dan Ketua International Moneter Fund (IMF).
Menurut peraih Nobel ekonomi berkewarganegaraan AS ini, sejak berdiri kedua lembaga tersebut berada dalam dominasi AS dan Eropa. 12 Presiden Bank Dunia secara turun temurun berasal dari AS, karena dukungan Eropa yang juga dijatahi jabatan Ketua IMF. Selain itu, AS sebagai kreditor terbesar yang menyuplai dana terbesar, yaitu 16 persen dari total kas Bank Dunia, salah satu alasan mengapa posisi AS begitu kuat di lembaga keuangan yang didirikan untuk mengentaskan kemiskinan di dunia itu.
Dan dominasi AS dalam tampuk kepemimpinan Bank Dunia memang tak bisa dipatahkan. Terpilihnya Jim Yong Kim Senin (16/4) sebagai Presiden Baru Bank Dunia melegitimasi pandangan tersebut. Seperti diprediksi banyak pihak, Jim Yong Kim yang dijagokan Gedung Putih, akhirnya terpilih sebagai Presiden ke-12 lembaga keuangan internasional tersebut. Warga AS kelahiran Korea ini akan menggantikan Robert Zoellick mulai 1 Juli 2012 depan.
Kim mendapat dukungan dari negara-negara maju seperti: Jepang, Rusia, Kanada, Meksiko dan Korea Selatan dan mengandaskan jagoan negara berkembang yang sepakat mendukung Menteri Keuangan Nigeria Ngozi Okonjo Iweala. Selain Okonjo, mantan Menteri Keuangan Kolombia Jose Antonio Ocampo juga masuk tiga besar dalam bursa bergengsi tersebut, namun Ocampo memilih mundur dan mengalihkan dukungan ke Okonjo sebagai bentuk kritik karena melihat kentalnya dominasi kepentingan politik AS dalam pemilihan Bank Dunia. Tidak ada transparansi.
Joseph E Stiglitz yang banyak mengetahui dapur Bank Dunia karena pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Bank Dunia, dalam berbagai kesempatan juga melontarkan kritik pedasnya, termasuk dalam proses pemilihan yang lebih mengedepankan kepentingan politik ketimbang merit sistem, pemilihan berdasarkan pengalaman dan kapasitas untuk mewujudkan visi Bank Dunia.
Di dalam artikel terbarunya, peraih Nobel ekonomi tahun 2001 ini melontarkan pernyatan skeptis. “To maintain a cabal among developed countries, whereby the US appoints the World Bank president and Europe picks the International Monetary Fund‘s head, seems particularly anachronistic and perplexing today, when the Bank and the Fund are turning to emerging-market countries as a source of funds.‘ (Project Syndicate : 2012)
Stiglitz melihat dominasi AS dengan dukungan Eropa yang juga dijatahi Ketua IMF sebagai salah satu lembaga keuangan internasional merupakan anakronistik. Terjadi ketidakcocokan atau ketidakrelevansian peran Bank Dunia, karena pada masa ini, negara emerging marketjustru menjadi mesin pertumbuhan ekonomi global sebagaimana dilansir Credit Suisse 2011, bukan AS atau Eropa yang belakangan justru diamuk badai krisis ekonomi. Namun peranemerging market hampir tidak ada.
Kritik sejumlah pihak yang meragukan kapasitas ekonomi Kim karena memang berlatar belakang medis dan antropologi, tentu harus dijawab dengan pembuktian bahwa Bank Dunia di bawah kepemimpinannya bisa mengentaskan problem disparitas pembangunan dan ekonomi antara negara berkembang dan negara maju, sesuai visi pembentukan lembaga yang dipimpinnya tersebut.
Setidaknya, ada tiga tugas krusial yang mesti dilakukan Kim untuk mengembalikan kepercayaan dunia akibat skeptisme melihat peran minimalis Bank yang didirikan 27 Desember 1945 itu selama ini. Pertama, memberantas kemiskinan. Fakta, di tengah pesatnya kemajuan ekonomi global, penduduk miskin dunia justru kian membengkak. Setidaknya ada tiga miliar manusia mengalami kemiskinan absolut. Padahal, data terbaru Credit Suisse menunjukkan, pertumbuhan kekayaan global saat ini naik 14 persen menjadi US$231 triliun Juni 2011 dari sebelumnya US$203 triliun Januari 2010. Bank dunia yang secara fungsional semestinya menjembatani distribusi kesejahteraan dari negara kaya ke negara miskin justru gagal melaksanakan tugas.
Kedua, mengambil langkah antisipatif terhadap makin meluasnya ancaman krisis pangan, pencemaran lingkungan serta krisis energi. Sebagaimana ditulis oleh Thomas L Friedman dalam bukunya Hot, Flate and Crowded (2009), krisis pangan dan lingkungan yang rusak akibat makin membengkaknya jumlah penduduk dunia hingga mencapai 7 miliar orang, merupakan anomali dari globalisasi. Kemajuan peradaban yang mereduksi ruang-ruang sosial ekonomi.
Sumber daya pemenuhan kebutuhan yang mendasar di era industri ini, seperti pangan dan energi akhirnya menjadi rebutan. Di era kompetitif dan liberasi, negara kaya tentu menjadi pemenang. Bahkan mengekspansi lalu mengeksploitasi sumber daya alam negara-negara terbelakang yang tak mampu bersaing.
Ketiga, mengembalikan kepercayaan negara-negara emerging market. Emerging marketadalah negara-negara dengan pertumbuhan dan industrialisasi yang pesat. Menurut data, sejak tahun 2006, 40 negara muncul sebagai emerging market. Yang paling kentara adalah negara yang tergabung dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, China dan South Africa) dengan China dan India sebagai pemain utama. Sebagai kontributor utama terhadap perekonomian global, Bank Dunia tidak bisa mengecilkan peran mereka.
Wacana pembentukan BRICS Bank beberapa waktu lalu harus dilihat secara serius sebagai implikasi dari distrust terhadap Bank Dunia. Sebagaimana diberitakan oleh Telegraph.co.ukedisi 29 Maret, Presiden Brasil Dilma Rousseff, Presiden Rusia Dmitry Medvedev, Perdana Menteri India Manmohan Singh, Presiden China Hu Jintao dan Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma sepakat menggagas berdirinya BRICS Bank di sela BRICS Summit di New Delhi. Problem keterbatasan infrastruktur akibat kurangnya perhatian Bank Dunia maupun IMF--sehingga menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan di negara-negara berkembang--merupakan alasan pendirian bank multilateral itu. Presiden Bank Dunia, Robert Zoellick sendiri mengapresiasi positif wacana tersebut