- Analis Ekonomi Politik Society Research And Humanity
Development (SERUM) Institute
17.4.12
Anakronistik Bank Dunia
Oleh : Jusman Dalle
***
John Perkins (2007) percaya bahwa kebangkrutan, dera krisis
ekonomi dan ketidakadilan di berbagai belahan dunia tak lepas dari andil
Amerika Serikat yang memperalat lembaga keuangan internasional sebagai saluran
untuk mengalirkan kekayaan –utamanya- dari negara berkembang ke negara maju.
Senada dengan Perkins, Joseph E. Stiglitz (2006) juga menegaskan jika mandulnya
fungsi lembaga keuangan internasional yang semestinya menjembatani negara
miskin dan negara kaya untuk maju secara seimbang, diawali oleh tidak
transprannya proses pemilihan pimpinan berbagai lembaga keuangan internasional
seperti pemilihan Presiden Bank Dunia dan Ketua International Moneter Fund
(IMF)
Menurut peraih nobel ekonomi berkewarganegaraan AS ini, sejak
berdiri, kedua lembaga tersebut berada dalam dominasi AS dan Eropa. 11 Presiden
Bank Dunia secara turun temurun berasal dari AS, karena dukungan Eropa yang
juga dijatahi jabatan Ketua IMF. Selain itu, AS sebagai kreditor terbesar yang
menyuplai dana terbesar, yaitu 16% dari total kas Bank Dunia menjadi alasan
mengapa posisi AS begitu kuat di lembaga keuangan yang didirikan untuk
mengentaskan kemiskinan di dunia itu.
Terpilihnya Jim Yong Kim
pada Senin (16/4) sebagai Presiden Baru Bank Dunia melegitimasi pandangan tersebut.
Seperti diprediksi banyak pihak, Jim Yong Kim
yang dijagokan Gedung Putih, akhirnya terpilih sebagai Presiden ke 12 lembaga
keuangan internasional tersebut. Warga
AS kelahiran Korea ini akan menggantikan Robert Zoellick mulai 1 Juli
2012 mendatang.
Kim mendapat dukungan dari
negara-negara maju seperti Jepang, Rusia, Kanada, Meksiko dan Korea Selatan dan
mengandaskan jagoan negara berkembang yang sepakat mendukung Menteri Keuangan Nigeria Ngozi Okonjo Iweala. Selain
Okonjo, mantan Menteri Keuangan Kolombia Jose Antonio Ocampo juga masuk tiga
besar dalam bursa bergengsi tersebut, namun Ocampo memilih mundur dan
mengalihkan dukungan ke Okonjo sebagai bentuk kritik karena melihat kentalnya
dominasi kepentingan politik AS dalam pemilihan Bank Dunia. Tidak ada
transparansi.
Joseph E.
Stiglitz yang banyak mengetahui dapur Bank Dunia karena pernah menjabat sebagai
Wakil Presiden Bank Dunia, dalam berbagai kesempatan juga melontarkan kritik
pedasnya, termasuk dalam proses pemilihan yang lebih mengedepankan kepentingan
politik ketimbang merit sistem, pemilihan berdasarkan pengalaman dan kapasitas
untuk mewujudkan visi Bank Dunia.
Di
dalam artikel terbarunya, peraih nobel ekonomi tahun 2001 ini melontarkan pernyatan skeptis. “To maintain a cabal among developed countries, whereby the US
appoints the World Bank president and Europe picks the International Monetary
Fund’s head, seems particularly anachronistic and perplexing today, when the
Bank and the Fund are turning to emerging-market countries as a source of
funds.” (Project Syndicate : 2012)
Stiglitz
melihat dominasi AS dengan dukungan Eropa yang juga dijatahi Ketua IMF sebagai
salah satu lembaga keuangan internasional merupakan fakta anakronistik Bank
Dunia. Terjadi ketidakcocokan atau ketidakrelevansian peran Bank Dunia, karena
pada masa ini, negara emerging market justru menjadi mesin pertumbuhan
ekonomi global sebagaimana dilansir oleh Credit Suisse 2011 dan berbagai
lembaga kredibel lainnya, bukan AS atau Eropa yang belakangan justru diamuk
badai krisis ekonomi. Namun peran emerging market menentukan arah Bank Dunia, hampir
tidak ada.
Kritik
sejumlah pihak yang meragukan kapasitas ekonomi Kim karena memang berlatar
belakang medis dan antropologi, tentu harus dijawab dengan pembuktian bahwa
Bank Dunia dibawah kepemimpinannya bisa mengentaskan problem disparitas
pembangunan dan ekonomi antara negara berkembang dan negara maju, sesuai visi
pembentukan lembaga yang dipimpinnya tersebut.
Setidaknya, ada tiga tugas
krusial yang mesti dilakukan oleh Kim untuk mengembalikan kepercayaan dunia
akibat skeptisme melihat peran minimalis Bank yang didirikan pada 27 Desember
1945 itu selama ini. Pertama, memberantas kemiskinan. Bahwa merupakan fakta, di
tengah pesatnya kemajuan ekonomi global, penduduk miskin dunia justru kian
membengkak. Setidaknya ada 3 miliar manusia yang mengalami kemiskinan absolut.
Padahal, data terbaru dari Credit Suisse
menunjukkan jika pertumbuhan kekayaan global saat ini naik 14 persen menjadi
US$231 triliun pada Juni 2011 dari sebelumnya US$203 triliun pada Januari 2010.
Bank dunia yang secara fungsional semestinya menjembatani distribusi
kesejahteraan dari negara kaya ke negara miskin, justru gagal melaksanakan
tugas.
Kedua, mengambil langkah
antisipatif terhadap makin meluasnya ancaman krisis pangan, pencemaran
lingkungan serta krisis energi. Sebagaimana ditulis oleh Thomas L. Friedman di
dalam bukunya yang berjudul Hot, Flate and Crowded (2009), krisis pangan dan
lingkungan yang rusak akibat makin membengkaknya jumlah penduduk dunia hingga
mencapai 7 miliar orang, merupakan anomali dari globalisasi. Kemajuan peradaban
yang mereduksi ruang-ruang sosial ekonomi.
Sumber daya pemenuhan
kebutuhan yang mendasar di era industri ini, seperti pangan dan energi akhirnya
menjadi rebutan. Di era kompetitif dan liberasi, negara kaya tentu menjadi
pemenang. Bahkan mengekspansi lalu mengeksploitasi sumber daya alam
negara-negara terbelakang yang tak mampu bersaing.
Ketiga, mengembalikan
kepercayaan negara-negara emerging market. Emerging market adalah negara-negara dengan pertumbuhan dan
industrialisasi yang pesat. Menurut data, sejak tahun 2006, 40 negara muncul
sebagai emerging market. Yang paling
kentara adalah negara yang tergabung di dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina
dan South Africa) dengan Cina dan India sebagai pemain utamanya. Sebagai
kontributor utama terhadap perekonomian global, Bank Dunia tidak bisa
mengecilkan peran mereka.
Wacana pembentukan BRICS
Bank beberapa waktu lalu, harus dilihat secara serius sebagai implikasi dari distrust
terhadap Bank Dunia. Sebagaimana diberitakan oleh Telegraph.co.uk edisi 29
Maret, Presiden Brasil Dilma Rousseff, Presiden
Rusia Dmitry Medvedev, Perdana Menteri India Manmohan Singh, Presiden Cina Hu
Jintao dan Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma, sepakat untuk menggagas
berdirinya BRICS Bank di sela BRICS Summit di New Delhi. Problem keterbatasan
infrastruktur akibat kurangnya perhatian Bank Dunia maupun IMF sehingga
menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan di negara-negara berkembang, merupakan
alasan pendirian bank multilateral itu. Presiden Bank Dunia, Robert Zoellick
sendiri mengapresiasi positif wacana
tersebut.
Bilamana
BRICS Bank didirikan dalam waktu dekat, walaupun skalanya lebih sempit daripada
Bank Dunia, bisa jadi kepercayaan negara emerging market kepada Bank Dunia
semakin hilang karena mereka memiliki pembanding yang lebih objektif. Artinya,
Bank Dunia harus segera berbenah. Bila masih enggan, lembaga yang sejak
didirikan dipimpin oleh warga negara AS ini, keberadaannya tidak lagi
dibutuhkan dan akhirnya terjebak pada deligitimasi.
Kim,
Presiden Bank Dunia yang baru, memiliki tugas berat mengeluarkan institusi yang
dipimpinnya dari kooptasi anakronistik.
Jika tidak, ceremony pergantian Presiden Bank Dunia yang dihelat setiap lima
tahun hanya menjadi hiburan, dan justru menggantung asa negara-negara yang
butuh uluran tangan, di langit harapan yang jauh dari realitas. Bukan hanya
kekuatan ekonomi yang terfriksi, kekuatan politik global dibelakangnya, pun
akan vis a vis antara emerging market versus negara maju yang kian renta
sehingga potensi menimbulkan kompetisi ekonomi politik global tidak sehat dan
makin merusak tatanan peradaban kita di bumi.
Munculnya
kekuatan baru dari negara-negara berkembang yang selama ini merasa dianaktirikan
dengan mengusung calon sendiri dalam bursa Capres Bank Dunia ke 12, merupakan
akumulasi dari putus asa melihat ketimpangan ekonomi global yang tak kunjung
teratasi. Tugas Kim untuk mengurai problem pelik ini.
Keterangan
Tentang Penulis :