Mata Air Pikiran Mengalir Membentuk Kenyataan

  • Opini Kompas | IMF dan Malapraktik Diplomasi

    Jusman Dalle | Opini Harian Kompas Pemerintah memastikan bakal memberikan bantuan pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 9,4 triliun. Terkait komitmen Indonesia ini, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, IMF diharapkan tidak hanya menggunakan pinjaman ini untuk membantu negara-negara di Eropa, tetapi juga negara-negara di Asia dan Afrika.

  • Opini Republika | Urgensi Badan Haji

    Jusman Dalle - Opini Republika | Untuk mencapai tujuan pertama yaitu manfaat transformasi manajemen, Badan Haji yang nantinya bakal berfungsi sebagai eksekutor saja, merampingkan organisasi serta secara otomatis memotong rantai birokrasi bertingkat dan kompleks yang melibatkan banyak institusi. Badan Haji juga mengakhiri rezim monopoli kewenangan sebab Kemenag tinggal memegang satu fungsi, yaitu sebagai regulator sementara Komisi VIII DPR yang membawahi persoalan haji, berfungsi sebagai evaluator.

  • Profil Jusman Dalle

    Jusman juga menekuni digital marketing. Merancang dan membuat konten digital berupa tulisan (copywriter), visual dan audio visual untuk sejumlah perusahaan dan institusi skala nasional. Antara lain Partai Gerindra, Kedutaan Besar Jerman, Taksi Ekspress, Bank BTN, PLN, XL Axiata, Agung Podomoro Land, True Money, dll.

  • Rawan Pangan Negeri Pertanian

    Jusman Dalle - Opini Koran Tempo | Program revitalisasi sektor pertanian yang pernah dijanjikan sejak 2005 masih sebatas lip service. Infrastruktur irigasi rusak parah, jalanan di desa-desa basis pertanian pun belum memadai. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 9,25 juta hektare juga baru sebatas “angin surga”.

27.12.11

Alarm dari Tragedi Bima-Mesuji

Diterbitkan di kolom OPINI Harian Fajar (Sulsel-Sulbar), Selasa (27/12/2011)

Oleh : Jusman Dalle

***

Akhir tahun 2011 berakhir kelabu. Perjuangan hak sosial ekonomi masyarakat harus dibayar dengan nyawa. Itulah yang terjadi di Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat pada Sabtu (24/12/2011). Seperti diberitakan berbagai media massa, setidaknya tiga demonstran muda meregang nyawa di ujung peluru tajam anggota Polisi yang seharusnya mengayomi masyarakat. Mereka adalah Arif Rahman (19), Syaiful (17) dan Ashary yang juga kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).


Aksi demonstrasi dilakukan dengan cara menduduki Pelabuhan Sape, berlangsung sejak Senin (19/12/2011), merupakan wujud protes warga atas keberadaan tambang emas di Lambu. Tambang miliki PT. Indo Mina Persada dan PT. Sumber Mineral Nusantara dinilai mengancam mata pencaharian warga yang bekerja sebagai petani. Areal tambang tersebut berada pada sumber mata air satu-satunya milik warga setempat (okezone.com/26/12)


Maka sangat wajar jika warga yang merasa terancam melakukan pembelaan demi hak-hak dasar mereka. Upaya menuntut keberpihakan pemerintah , sudah berjalan setahun terakhir dengan berbagai cara. Namun cara-cara yang ditempuh sebelumnya tak juga membuahkan hasil, hingga terjadi tragedi berdarah akhir pekan lalu.


Tragedi berdarah di Bima tersebut, bukanlah kejadian tunggal. Berbagai chaos dan konflik berkepanjangan antara warga dan korporasi atau perusahaan sudah banyak terjadi di wilayah lain. Sebutlah satu pekan sebelum tragedi Bima misalnya. Di Mesuji, Lampung, juga terjadi sengketa antara warga dan perusahaan PT. Silva. Konflik di Mesuji bahkan sangat memprihatinkan. Warga yang tergusur, harus mengungsi dan bekerja serabutan demi menyambung hidup.


Akar masalah dari rangkaian konflik yang medera di berbagai wilayah tanah air ini, sama. Yaitu warga merasa terganggu karena mata pencaharian mereka terancam akibat beroperasinya perusahaan yang cenderung mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) dan tanpa kompensasi yang adil bagi warga.


Investasi Sosial

Dalam teori motivasinya, Abraham Maslow sudah sangat jelas mengingatkan kita. Bahwa keterdesakan memenuhi kebutuhan dasar yang meliputi sandang, pangan dan papan, akan membutakan mata manusia untuk melakukan pembelaan akan eksistensinya. Pun dengan konstruksi konflik di Bima dan Mesuji, bisa kita lacak dari perspektif basic needs tersebut.


Konflik semakin kompleks dan potensi melebar dengan keterlibatan aparat keamanan yang cenderung represif. Apatah lagi dalam banyak kasus sengketa antara perusahaan dan warga, perusahaan diback upoleh oknum penguasa sehingga pemerintah terlihat cenderung lepas tangan dan bahkan mehyalahkan warga.


Bagi pemerintah, masuknya investor merupakan “berkah” karena berarti bisa menambah pendapatan asil daerah (PAD) dari sektor pajak. Di sisi lain, kehadiran investor juga membuka lapangan kerja baru yang dalam kaca mata politik sangat dibuthkan untuk sekedar pencitraan. Walaupun kadang tak sebanding dengan pengangguran yang ditimbulkannya akibat lahan warga yang dikonversi menjadi tempat investasi.

Belum lagi ketika terjadi perselingkuhan antara perusahaan dan oknum pejabat pemburu rente. Maka tak ayal, hak-hak rakyat tak lagi ada artinya. Logika-logika di atas sebenarnya sudah menjadi ekses klasik dalam transmisi kapitalisme untuk melanggengkan hegemoninya.


Sebagaimana dikutip dari buku Negara, Pasar dan Rakyat karya Fahri Hamzah (2010), ketika terjadi turbulensi dalam pertumbuhan ekonomi dengan kenyataan sosial ekonomi masyarakat, maka pemerintah sebagai representasi dari negara seharusnya menavigasi investasi pada lokus investasi sosial.


Bagi Perkins, Nelms, dan Smyth (2004) setidaknya ada tiga unsur gagasan investasi sosial ekonomi tersebut. Pertama, kebijaka sosial dan ekonomi tidak bisa dipisahkan. Rasionalisme ekonomi yang selama ini berkembang dengan mengandaikan perekonomian bekerja pada ruang hampa, terasing dari segi-segi sosial dan ekologis, harus diruntuhkan.


Kedua, kekuatan strategis dari gagasan ini adalah komitmennya pada kesetaraan peluang dan partisipasi rakyat. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kontinuitas sosial ekonomi, sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab moral.


Ketiga, lebih dari sekadar mengembangkan produktifitas sosial dan ekonomi, penghargaan terhadap keluarga, masyarakat, adat istiadat, lingkungan hidup, dan sebagian populasi yang kurang mampu berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja, menghendaki cakrawala yang lebih luas. Bukan hanya menggunakan paameter-parameter material. Dalam bahasa lain, peranan local wisdom (kearifan lokal) tak bisa direduksi oleh kepentingan ekonomi.


Alarm Peringkat Investasi

Nah, belajar dari Bima dan Mesuji, tantangan, persoalan, sekaligus ancaman baru tentu akan menyertai predikat baru Idonesia setelah mendapat peringkat layak Investasi (investment grade). Akankah predikat investment grade BBB- dari sebelumnya BB+ yang diberikan oleh Fitch Ratings Ltd beberapa waktu lalu, bisa dikelola secara optimal tanpa harus mengorbankan rakyat kecil?


Ini menjadi pertanyaan kita bersama kepada pemerintah atas berbagai upaya untuk memenuhi janji-janjinya mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Diantaranya, pembukaan lapangan kerja dengan pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Yang berarti bahwa akan ada pembukaan lahan baru di daerah-daerah yang baru.


Kita optimis bahwa rating investasi dari Fitch membuat negeri dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara ini dipastikan kembali tampil seksi dan dilirik para pemodal asing. Akan banyak investasi asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI) yang masuk. Kita bisa belajar pada beberapa negara di dunia yang berkembang pesat setelah mendapat rating investment grade.


Lihatlah misalnya pengalaman India, Brasil, dan China. Lima tahun terakhir sejak meraih peringkat investment grade pada 2007, arus modal asing ke negeri Bollywood tersebut melonjak lima kali lipat menjadi US$ 30 miliar per tahun. Pun dengan Brasil. Aliran modal asing naik lebih dari dua kali lipat menjadi US$ 40 miliar per tahun sejak negara pesohor sepak bola dunia itu meraih investment grade pada pada tahun 2008. Negeri tirai Bambu, Cina lebih fantastis lagi. Setelah dua puluh tahun meraih status investment grade, arus modal asing melonjak drastis dari hanya US$ 11 miliar menjadi US$ 185 miliar.


Terkait potensi masuknya investasi asing ke Indonesia, maka pemerintah harus hati-hati dan menyiapkan perangkat peraturan yang memihak kepada rakyat. Jangan sampai hak-hak sosial dan ekonomi rakyat dikorbankan.


Alih-alih menikmati kesejahteraan (jika pemerintah tidak awas) bisa jadi peringkat investasi hanya menjadi pintu bagi imperialisme ekonomi sehingga memperlebar disparitas dalam kehidupan sosial ekonomi, dan rakyat kecil semakin termarginalkan.


Tragedi Bima dan Mesuji kiranya cukup menjadi alarm agar pemerintah tidak seenaknya mengeluarkan izin investasi. Baik kepada pengsaha lokal, terlebih lagi pengusaha asing. Sekali lagi, aspek sosial ekonomi harus dipertimbangkan. Wallahu’alam.