Dimuat di Opini Detik.Com Edisi Selasa (13/9/2011)
Pertemuan dua arus ini, yaitu pencarian spiritual Barat dan berseminya Islam menimbulkan gelombang Islamisasi. Islam menjadi agama yang berkembang sangat pesat. Akan tetapi dibalik perkembangan tersebut, secara global masih banyak tersimpan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh kaum Muslimin.
John L. Esposito, guru besar dan direktur Centre for Muslim-Christian Understanding di Georgetown University, Washington DC. Tokoh yang sering membuat Barat meradang akibat pandangan objektif dan emphaty terhadap Islam, di dalam bukunya "The Future of Islam" (Oxford: OUP, 2010) mengidentifikasi beberapa masalah yang di hadapi Islam di masa mendatang.
Pertama, Esposito melihat meningkatnya ultrakonservatisme Islam, yang terutama diwakili Wahabisme. Meski gerakan Wahabiyah sekarang tidak selalu menampilkan kekerasan, namun faham ini cukup membuat Islam hadir sebagai agama yang segala tidak boleh: 'ini tidak boleh, itu tidak boleh'.
Kedua, di dalam tubuh umat Islam masih ada disapritas (kesenjangan) yang besar dalam hal pembaharuan Islam. Gerakan purifiksi Islam selalu konfrontatif dengan gerakan pembaharuan yang tak jarang mencederai dan melemahkan umat Islam sendiri. Perbedaan-perbedaan yang tajam dalam tafsir keagamaan ini, kian sulit terselesaikan.
Bagi Duo Islamis-Indonesianis berkewarganegaraan Australia Greg Fealy dan Anthony Bubalo, di dalam bukunya Joining the Caravan ?: The Middle East, Islamism and Indonesia (2007), titik sentral diskursus pembaruan dalam Islam terletak pada dua hal yaitu pemurnian Islam yang berarti merujuk kepada generasi awal Islam (shalafush shalilh) yang hidup dalam suasana murni bersih dari pengaruh tradisi jahiliyah.
Akan tetapi konsekwensinya adalah Islam harus membuat jarak dengan realitas budaya lokal. Bagi negara-negara yang masih memelihara dan kental dengan budaya lokal.
Pilihan kedua pembaruan ini ialah lebih menitikberatkan kepada melakukan interpretasi baru terhadap ajaran Islam dengan memanfaatkan potensi rasionalitas sebagaimana dalam pengalaman barat.
Akan tetapi bedanya, barat melakukan pembaruan dengan membelakangi sama sekali doktrin teologia kekristenan, sementara masyarakat muslim menerima secara absolut kebenaran wahyu (qoth’i tsubut) namun melakukan penafsiran baru sesuai dengan perkembangan moderen.
Secara struktural, kelompok inilah yang biasanya tampil transformatif pada wilayah lebih formal. Misalnya dengan masuk dalam pusaran kekuasaan melalui kontestasi demokrasi dengan mendirikan partai politik Islam.
Walaupun oleh beberapa kelompok, demokrasi dianggap haram. Akomodasi terhadap demorkasi bisa kita lihat pada gerakan politik Islam seperti AKP di Turki, An Nahdah di Tunisia, Ikhwanul Muslimin di Mesir dan PKS di Indonesia.
Peluang Indonesia
Berbeda dengan Umat Islam yang harus menjawab sejumlah tantangan pasca tragedi 9/11, kini Barat (khususnya AS) justru harus menanggung resiko. Bahwa mesin perang yang digelar selama sepuluh tahun telah menyedot anggaran tak sedikit, sehingga berakibat pada goncangnya perekonomian negara tersebut akibat utang untuk menggelontorkan biaya perang di sejumah negara Muslim.
Laporan terakhir yang dilansir oleh Reuters menunjukkan jika saat ini uang AS telah melampaui produk domestik beruto (PDB) AS, yaitu tahun 2010 lalu, total utang AS sebesar U$ 14,58 triliun, sementara PDB tahun yang sama hanya U$ 14,53 triliun.
Sepanjang sejarah petualangan perang AS, perang pasca 9/11 merupakan perang perang pertama yang keseluruhan biayanya didanai dari utang. Mengingat rentang waktu perang yang begitu lama dan dilakukan di banyak negara, maka tak heran jika biaya perang terus membengkak. Beban utang pun melampaui PDB AS, padahal sebelum penrang, negara tersebut surplus fiskal 2 persen.
Kondisi ini menjadi ancaman bagi terjadinya resesi atas ekonomi AS karena beban utang yang menyedot anggaran besar mengharuskan pemerintah mengurangi porsi pada stimulus ekonomi.
Akibatnya terjadi efek domino. Ekonomi akan melambat, atau bahkan –mungkin- bisa tumbuh negatif, pengangguran pun akan semakin membengkak dari angka 9,1 persen saat ini. Pengangguran tersebut hanya akan menjadi masalah sosial bagi AS.
Sebagai negara yang berkontribusi bagi 40 persen perputaran ekonomi dunia, permasalahan AS ini tak pelak menjadi ancaman bagi ekonomi global. Tanda-tanda itu mulai nampak pada negara-negara yang selama ini ekonominya bergantung pada AS. Sebutlah misalnya negara-negara di Eropa dan Amerika seperti Inggris, Prancis, Kanada, Jerman dan Yunani yang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi hingga pada tahap krisis.
Ledakan kerusuhan di Tottenham, London Utara yang merupakan wilayah dimana terdapat sejumlah besar kelompok minoritas etnis dengan tingkat pengangguran yang tertinggi di kota itu, tidak lepas dari kesenjangan sosial akibat permasalahan ekonomi.
"Sesungguhnya bagi orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan sebagaimana kehinaan yang telah didapat oleh orang-orang sebelum mereka. Dan sungguh kami telah menurunkan bukti-bukti yang nyata. Dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat adzab" (QS Al Mujadalah [58] : 5)
Sebagai negara dengan potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam yang melimpah, deklinasi di Barat menjadi gerbang bagi Indonesia (jika disertai dengan kesiapan) untuk menjadi ikon baru dalam percaturan global.
Hanya saja, sering terjadinya gejolak politik dan hukum di negeri ini selalu berpengaruh negatif akibat tersedotnya energi pemerintah mengatasi masalah-masalah pragmatis tersebut.
Jika ingin tampil seperti negara-negara emerging market yang tergabung dalam BIRCS (Brazil, India, Rusia, China, Saouth Africa), yang diprediksi menjadi pusat kekuatan ekonomi-politik global di masa depan, maka pemimpin di negeri ini, mensyarat utamakan kekuatan kepemimpinan yang mampu meredam sekaligus mengelola dan mentransformasi dinamika sosial, ekonomi, politik dan hukum menjadi energi positif.
Selain kepemimpinan, kedewasaan dan sikap bijaksana seluruh elemen bangsa dalam menyikapi setiap dinamika kebangsaan, juga menjadi urgen untuk kita hadirkan. Sebagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim, keterlatihan dari dinamika keagamaan yang sering terjadi, setidaknya menjadi modal awal Indonesia.
Dengan demikian, optimisme bahwa Indonesia akan menjadi pioner kebangkitan Islam dari Timur, akan menjadi kenyataan. Jayalah Indonesia!
*Penulis adalah Analis Ekonomi Politik SERUM Institute dan Pengurus Pusat KAMMI (Follow Twitter @Jusmandalle)
Link : http://www.detiknews.com/read/2011/09/13/125350/1721124/471/kepemimpinan-memposisikan-indonesia