JIWA-JIWA NELANGSA
Jiwa-jiwa nelangsa itu menjerit, kebingungan seperti dicekam sepi diantara hingar bingar dinamika dunia. telah banyak manusia yg dijumpai, namun blm ada yg mampu menunjukkan apa yg ia cari. Pada waktu pun ia menaruh harap, kelak sekelompok kafilah menyambanginya. Membawa kedalam rengkuhan cahaya yg mendamaikan. Sejurus kemudian, dilorong kekuasaan. Peperangan membuyarkan harapannya. Sepertinya yang shaleh pun rontok dilamun ombak singgasana. Kafilah yg dinanti nyatanya sedang bertarung dgn dirinya sendiri. Mengentuk eksistensi keimanan yg seabad silam dikhutbahkan dari mimbar ke mimbar, yg dinasehatkan dari altar ke altar. Belum lagi tontonan memilukan itu usai, kembali njiwa nelangsa mendengar protes lantang dari sekelompok pemuda yg hanyut dalam candu hedonisme. Dia bergumam,
''dia segenerasi denganku, tapi sungguh takdir menyeretnya pd candu yg tak memiliki obat. Sampai jumpa di padang mahsyar''. Langit berarak, pagi itu.

Di garis cakrawala mentari beranjak perlahan menembus duha, walau dingin masih menggigit hingga menembus tulang, dia mencoba bangkit dari bawah sebatang kayu yg daunnya memutih oleh salju musim dingin yg baru saja menyapa. Mentari yg tak mampu mengusir salju terus bergerak dan sesekali bersembunyi dibalik awan, mungkin dia malu pada jiwa nelangsa karena kelemahannya membubarkan salju yg turun setiap akhir Januari. Di sudut sebuah surau, nelangsa menengadah kelangit seolah-seolah sedang perotes pada Tuhan. Dari kejauhan samar-samar suara derap kuda semakin dekat. Semakin lama semakin dekat dan tiba-tiba segerombolan manusia berjubah putih dengan wajah tertutup topeng pelindung salju berhenti tepat di depan surau yg hampir rubuh itu. Ditangan salah seorang yg sepertinya pimpinan rombongan, terapit dua kita suci sambil didekap di dada..
BERSAMBUNG!!! (Karena menulis pakai Hp, khawatir keypadnya rusak) :)