Baca juga artikel saya lainnya Jebakan Kelas Menengah di Bisnis Indonesia Writing Contest
26.4.14
Opini Republika : Korupsi Pajak
Komisi Pemberantasan Korupsi
kembali menghentak publik. Lembaga anti rasuah itu menetapkan bekas Dirjen
Pajak, Hadi Purnomo
sebagai tersangka dalam kasus permohonan keberatan pajak yang diajukan Bank
Central Asia (BCA) pada tahun 2003. Reformasi di tubuh Direktorat Jenderal Pajak pepesan kosong
belaka. Pucuk pimpinan lembaga tersebut nyatanya tak bebas dari praktik kotor
yang merugikan Negara.
Temuan kasus korupsi Hadi
Purnomo, menambah daftar panjang korupsi di tubuh lembaga yang diberi
kewenangan mengurusi penerimaan paling besar di republik tercinta. Nampaknya, anggapan
lama di
tengah-tengah masyarakat,
bahwa
kantor pajak merupakan sarang koruptor dan menjadi momok, tak bisa dienyahkan begitu saja.
Borok kantor
pajak jadi ajang pemerasan dan kongkalikong untuk memuluskan urusan wajib pajak, lagi-lagi terbukti.
Kasus Hadi Purnomo membongkar
kembali memori publik terkait rentetan skandal pajak di negeri ini. Sebelum mantan Dirjen Pajak ini, berita terakhir
pegawai pajak yang dicokok KPK adalah Ketua Penyidik Kantor
Wilayah Ditjen Pajak Jakarta Pusat berpangkat golongan IV B, Pargono Riyadi. Ia digelandang KPK ke pesakitan setahun lalu, tepatnya pada 9 April 2013.
Kilas balik cerita
para pembajak pajak bermula dari Gayus Tambunan yang muncul fenomenal dan
menjadi etape pembuka mengiringi riuh kasus pembajak pajak di negeri ini. Kisah
Gayus heboh, sebab ia hanya pegawai biasa di Ditjen Pajak namun diketahui
mempunyai uang Rp 25 miliar di rekeningnya plus uang asing senilai 60 miliar
dan perhiasan senilai 14 miliar di brankas bank.
Kasus
Gayus yang mencuat di tengah benang kusut penegakan hukum perseteruan KPK dan
Polri dalam babakan Cicak vs Buaya tahun 2009 lalu, bahkan melibatkan 12
Pegawai dan dua orang pejabat Ditjen Pajak, yaitu mantan Kepala Kantor
Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII Bahasyim Assifie dan
Mantan Direktur Keberatan dan Banding Direktorat Jenderal Pajak
Bambang Heru Ismiarso.
Selain
Gayus, nama lain yang juga menorehkan nokhtah hitam dunia perpajakan Indonesia
adalah Tommy Hidratno Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi Kantor Pajak
Sidoarjo, Anggrah Suryo yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) Bogor serta Dhana Widyatmika, seorang pegawai biasa di Ditjen Pajak
Rentetan terungkapnya kasus pembajak
pajak ini semakin menguatkan skeptisme publik terhadap kinerja lembaga yang dibawahi
oleh Kementrian Keuangan tersebut. Skeptisme yang bahkan pernah memuncak
menjadi ancaman boikot pajak. Perangai koruptif oknum-oknum di tubuh Ditjen
Pajak, bisa jadi mengamini kesadaran pemerintah perihal masih rendahnya
penerimaan negara dari sektor pajak. Saat ini, rasio penerimaan pajak terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) Indonesia hanya sekira 12 persen, atau terendah di Asia.
Bersarangnya
koruptor di tubuh Ditjen Pajak bertentangan dengan upaya kampanye untuk
mengetuk kesadaran masyarakat membayar pajak yang sedang digalakkan. Seruan
membayar pajak malah mentah dengan sendirinya, sebab tidak diikuti oleh
perbaikan dari dalam. Masyarakat jadi memiliki argumentasi untuk menunda atau
bahkan boikot membayar pajak karena melihat banyaknya oknum predatoris bercokol
di tubuh Ditjen Pajak. Sistem di Ditjen Pajak masih menyisakan celah bagi para
predator anggaran.
Dari
beberapa data yang bisa dijadikan acuan, kita hanya mampu mengira-ngira potensi
kerugian tersebut. Periode 2008-2009 misalnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
pernah menemukan potensi kerugian negara hingga Rp 96 triliun di Kantor
Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu, Jalan Medan Merdeka Timur 16, Jakarta.
Bagaimana di kantor pelayanan pajak region lainnya? Wallahu’alam. Anggota DPR RI, Bambang
Soesatyo pernah mengatakan,
setiap
tahun negara merugi sebesar Rp 360 triliun karena perampokan di sektor pajak.
Kegagalan pemerintah mengelola pajak
sebagaimana kita lihat dari berbagai kebocoran dan tindakan koruptif, serta lambannya proses reformasi
birokrasi yang menjadi surga bagi para pengemplang pajak, jangan sampai semakin menimbulkan
antipati dan memantik kembali
himbauan
boikot membayar pajak. Sebab jika semangat dan kesadaran masyarakat membayar
pajak yang menjadi sumber pendapatan terbesar negara ini sirna dan berubah
menjadi pembangkangan, bisa kita bayangkan dampak sistemik yang bakal terjadi. Negara ini terancam stuck karena pajak adalah energi utama yang menggerakkan mesin
pembangunan .
Pajak yang berfungsi budgetair
memiliki peran sangat vital guna
memacu
roda pembangunan. Pajak menggalakkan tujuan-tujuan umum
pemerintah seperti mencegah pengangguran, kestabilan moneter, dan pertumbuhan
ekonomi (Safri Narmutu, 2005).
Namun iklim
ekonomi yang terus membaik,
yang mestinya menjadi tumpuan harapan untuk mengakselerasi pembangunan, bisa
jadi berlalu sia-sia belaka jika korupsi di tubuh Ditjen Pajak tak ditumpas
habis. Maka inilah urgensi tugas KPK di tengah pertumbuhan ekonomi, yakni
mengawal pembangunan dengan mencegah terjadinya kebocoran-kebocoran penerimaan
Negara yang kerap timbul dari kongkalikong antara pengusaha dan pejabat
pemerintah atau pengendali birokrasi. Bila potensi-potensi kebocoran anggaran
bisa diantisipasi, pertumbuhan ekonomi ddipastikan bisa lebih tinggi. Sebab
eksistensi daulat fiskal sebagai stimulus mesin pertumbuhan terjaga dengan
baik.
*Tulisan ini diterbitkan oleh koran Republika edisi Kamis (24/4/2014)
Baca juga artikel saya lainnya Jebakan Kelas Menengah di Bisnis Indonesia Writing Contest
Baca juga artikel saya lainnya Jebakan Kelas Menengah di Bisnis Indonesia Writing Contest