7.11.12
Kota dan Cerita Bisnis Pelesir Cinta (1)
“Bisnis
pelesir cinta makin menggila. Sejumlah tempat hiburan malam di Jakarta yang
berskala internasional, saat ini tidak hanya menggunakan jasa wanita lokal,
tapi juga menggunakan wanita-wanita impor sebagai magnet dan jualan utama.
Mereka tidak saja berasal dari negeri-negeri tetangga yang terdapat di kawasan
Asia seperti Cina, Taiwan, Philipina atau Thailand, tapi lebih dari itu, banyak
yang didatangkan dari negeri jauh seperti Rusia, Meksiko sampai Spanyol. Trend
bisnis prostitusi makin menjadi-jadi di era globalisasi dan informasi, di
milenium ketiga.” (Moammar Emka, Jakarta Undercover, 2005)
Saya sengaja
mengutip satu paragraf penting dari novel kontroversi Jakarta Undercover karya
Moammar Emka tersebut di atas. Dalam perjalanan ke berbagai kota bergelar Metropolitan,
selain menyaksikan sendiri, teman-teman juga bercerita bila capture Emka
terhadap kehidupan liar Jakarta sudah menjadi fenomena yang lazim terjadi dimana-mana.
Coba saya
sebut satu persatu kota-kota besar di Indonesia yang pernah saya kunjungi,
mulai dari Jakarta, Surabaya, Batam, Makassar, Malang, Semarang, Tanjung Pinang,
Depok, Bogor, Bekasi dan Bandung atau bahkan Kota Budaya Jogjakarta, semua
memiliki spot khusus untuk bisnis lucah. Baik yang mendapat legitimasi oleh pemerintah
setempat (lokalisasi) maupun yang bergerilya di bawah operasi jejaring rahasia
seperti di kos-kosan, kampus dan lokasi-lokasi undercover lainnya.
Di Makassar,
nama Jalan Nusantara yang tepat berhadapan dengan Pelabuhan Soekarno Hatta, sudah
masyhur sebagai lokasi esek-esek. Mulai dari harga puluhanan ribu (umumnya yang
parkir di trotoar, hehe) hingga jutaan rupiah (yang ini di night club). Varian
umurnya juga beragam, mulai 16 tahun ke atas, semua tersedia di lengkapi sarana
yang tentu saja sesuai harga.
Tahun 2009,
saya sendiri pernah menyambangi lokalisasi tersebut. Namun karena datang tidak
tepat waktu, yaitu sore hari, akhirnya saya tidak banyak memperoleh informasi perihal
aktivitas mereka (Ups! Jangan terlalu serius. Saat itu saya bersama tim melakukan
investigasi karena tugas jurnalistik). Dari interview dengan beberapa
perempuan, mereka melakoni ‘pekerjaan’ tersebut karena berbagai alasan. Seperti
tekanan ekonomi, patah hati (hiks..), have fun/gaya hidup, hingga karena
broken home.
Harian Tribun
Timur juga pernah melakukan investigasi terhadap kehidupan liar di Kota Daeng
yang dilakoni mahasiswi. Ternyata praktek lucah itu telah menyebar ke daerah
baru, Tanjung Bunga, yang saat ini sedang gencar-gencarnya dibangun oleh beberapa
raja properti nasional dan lokal. Gaya hidup, rata-rata menjadi alasan kaum
muda ini terjun ke dunia hitam (bukan dunia ghaib ya, hehe).
Prostitusi
menjadi satu trend, bila tak mau dikatakan parameter tak resmi maju tidaknya
suatu daerah. Bisnis birahi tersebut memang sengaja dipelihara dengan kedok
industri pariwisata dan hiburan. Hasilnya pun mengalir ke pemerintah daerah. Mereka
meraup rupiah, mengisi pundi-pundi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari transaksi
haram itu.
Di Kota Bekasi
misalnya, bisa meraup omzet Rp. 33 Miliar perbulan untuk satu spot lokalisasi.
Sekali lagi, PERBULAN! untuk Kota Kecil sekelas Bekasi. Tentu saja, yang
masuk ke PAD adalah pajak dari THM, night club, dll. Bukan semuanya. Kira-kira bagaimana ya hukumnya
gaji pegawai, atau bangunan yang dibuat dari uang tersebut? Hmm... (Bersambung,
Insya Allah)