![]() |
Image/Koran Jakarta |
Pemerintah menargetkan investasi dari AS hingga 2014 mencapai 5 miliar dollar, dari kerja sama pengembangan industri bioteknologi pertanian, manufaktur, retail, pertambangan, termasuk investasi di sektor infrastruktur.
Pemerintah memang harus agresif mencari stimulan pertumbuhan ekonomi yang pada beberapa sektor belum mampu di-cover APBN. Target pertumbuhan cukup tinggi hingga tahun 2014 mendatang, yaitu 6,4 persen sampai 7,5 persen. Ini menghantui pemerintah sehingga harus bekerja ekstra, termasuk mengundang investor asing. Namun, persoalan muncul ketika fokus pada pertumbuhan/instrumen makro tidak diikuti kualitas.
Pertumbuhan ekonomi tinggi yang dipancangkan pemerintah didukung McKinsey Global Institute (MGI). Menurut hasil studi dari lembaga bisnis dan ekonomi global tersebut, Indonesia berpotensi menjadi negara berekonomi terbesar ketujuh dunia pada tahun 2030, bahkan bisa mengalahkan Jerman dan Inggris. Dengan produk domestik bruto yang nyaris mencapai 850 miliar dollat AS tahun 2011, kekuatan ekonomi Indonesia saat ini berada di urutan ke-16 dunia.
Di level regional Asia, Indonesia hanya tertinggal dari China, Jepang, India, dan Korea Selatan. Kondisi makroekonomi juga sangat baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,4 persen pada triwulan II-2012 menempati tertinggi kedua di dunia setelah China (8,5 persen).
Prediksi MGI berangkat dari sejumlah variabel internal dan eksternal yang menguntungkan Indonesia. Seperti tren meningkatnya jumlah kelas menengah yang memperkuat bantalan ekonomi domestik, stabilitas politik. Krisis ekonomi global juga telah menyebabkan investor mengalihkan modal dari Amerika dan Eropa yang didera krisis ke negara-negara yang terbilang relatif aman serta layak investasi. Indonesia salah satu negara tujuan investasi menjanjikan dan telah diakui oleh lembaga pemeringkat investasi Fitch Ratings dan Moody's Investors Service melalui pemberian predikat investment grade pada Desember 2011 dan Januari 2012.
Pembenahan
Tingginya target pertumbuhan diikuti oleh gemuruh optimisme seperti dilansir MGI sebenarnya bukanlah hal baru. Beberapa lembaga, baik nasional maupun internasional, juga telah memprediksi masa depan negara dengan volume ekonomi terbesar di ASEAN ini.
Sejurus dan selaras dengan Presiden SBY yang memprediksi, pada tahun 2025 Indonesia menempati posisi 10 besar dari posisinya saat ini di urutan 16 dunia. Standard Chartered, misalnya, memperkirakan Indonesia bisa meraih posisi nomor 6 dunia pada tahun 2030.
Pujian terhadap ekonomi Indonesia memang mengesankan dan patut membuat bangsa menaruh harap. Tapi warga tak boleh lantas terbuai sehingga lupa pada beberapa sektor yang seharusnya menjadi perhatian serius. Berkaca dari berbagai komponen dalam penghitungan pertumbuhan ekonomi (PDB) di tengah tepuk sorai tersebut, secara riil, ekonomi Indonesia masih rapuh. Makroekonomi belum menggambarkan pertumbuhan berkualitas.
Untuk itu, harus segera dihentikan euforia terhadap kosmetika indikator makroekonomi yang semu dan cenderung menutupi realitas. Seperti angka kemiskinan yang mencapai 31,6 juta jiwa, pengangguran 7,99 juta jiwa, ketimpangan pendapatan yang dibuktikan dengan gini rasio yang angkanya menyentuh 0,41 atau semakin dekat dengan angka 1 yang berarti sangat buruk. Demikian pula dengan ketimpangan spasial di mana enam provinsi di Pulau Jawa berkontribusi 58 persen terhadap perekonomian.
Sementara 27 provinsi di Luar Jawa hanya berkontribusi 42 persen. Pun dengan indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia yang hanya 0,617 atau menempati posisi 124 dari 187 negara. Beberapa hal masih perlu dibenahi guna mewujudkan pertumbuhan berkualitas dan postur ekonomi yang sehat. Misalnya, memperkuat daya saing produk lokal baik untuk konsumsi domestik maupun untuk ekspor sehingga kompetitif di pasaran. Produk kompetitif sangat menentukan normalisasi neraca perdagangan luar negeri yang masih terbebani defi sit 176,5 juta dollar AS (Juli 2012) serta memengaruhi kondisi fiskal secara keseluruhan.
Tanpa adanya program pemerintah yang mendukung penguatan kualitas produk dalam negeri, produk impor dengan deras menyerbu pasar dalam negeri. Daya beli masyarakat yang makin baik hanya memperkaya segelintir importir dan tentu saja produsen luar negeri.
Kemudian, distribusi ekonomi agar tidak terjebak pada pertumbuhan sektoral padat modal seperti komunikasi, transportasi, hotel, perdagangan yang minim penyerapan tenaga kerja. Pertumbuhan harus disehatkan agar bisa menstimulasi dinamika ekonomi yang bersentuhan langsung dengan rakyat kecil.
Tugas pemerintah adalah menginjeksi sektor produktif seperti pertanian yang menghidupi 40 juta jiwa rakyat serta UKM yang menyerap 79 juta tenaga kerja. Kenyataannya, dukungan pemerintah masih sangat jauh dari harapan.
Tahun 2012, anggaran di bidang pertanian hanya 17,8 triliun rupiah. Demikian pula penyaluran kredit UMKM, menurut data Bank Indonesia hingga Juli ini baru 33 persen. Persoalan birokrasi berantai yang menimbulkan biaya tinggi tidak relevan lagi bagi negara yang menisbatkan diri mau maju. Ini dalam rangka mewujudkan keefektifan dan efi siensi yang menjadi tantangan. Itu hanya bisa terjadi pada manajemen birokrasi yang sederhana. Di mana pun, yang namanya negara maju sudah bebas dari jebakan birokrasi panjang dan bertele-tele.
Liberalisasi
Di tengah makin agresifnya penetrasi produk barang dan jasa dari luar ke pasar Indonesia, pertumbuhan ekonomi bisa jadi malah hanya dinikmati segelintir pihak yang mampu bertahan sebagaimana hukum liberalisasi. Kebergantungan perekonomian nasional pada asing sudah sedemikian akut. Sektor-sektor perekonomian yang vital hampir seluruhnya dikuasai asing secara signifi kan.
Sepanjang sifatnya sekadar sebagai komplementer untuk memacu pertumbuhan ekonomi seperti kegiatan produksi, assembling, distribusi, dan investasi, keberadaan asing masih dalam batas toleransi. Untuk itulah, agresivitas pemerintah mendatangkan investor harus tetap mempertimbangkan asas demokrasi ekonomi berbasis partisipasi yang bertujuan menyejahterakan rakyat.
Ada satu catatan Th e Wall Street Journal yang harus menjadi perhatian. Menurut prediksi media ekonomi dan bisnis itu, pada tahun 2030, perusahaan swasta asing berpeluang menyambar bisnis senilai 1,8 triliun dollar AS lebih atas sejumlah sektor yang juga tumbuh pesat di Indonesia, seperti jasa konsumen, pertanian dan perikanan, serta sumber daya alam.
Mereka juga memperoleh peluang besar dari memperkenalkan jasa fi nansial kepada jutaan kelas konsumen baru yang terlihat dari makin agresifnya bank-bank asing mencari posisi memanfaatkan longgarnya aturan di Indonesia.
Catatan ini menjadi warning agar slogan pro poor, pro joob dan pro growth seperti sering didendangkan pemerintah tak hanya memberi harapan semu. Pemerintah harus segera mengembalikan orientasi pertumbuhan pada fi trah konstitusi, yaitu perekonomian untuk mewujudkan masyarakat berkeadilan dan sejahtera. *
Oleh: Jusman Dalle
Penulis adalah Analis Ekonomi Society Reseacrh and Humanity Development, Makassar.