Opini Bali Post edisi Selasa (21/02/2012)

Langkah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang mewajibkan publikasi makalah pada jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan seluruh mahasiswa S1, S2 dan S3, menjadi polemik. Setelah Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) secara resmi menolak kebijakan tersebut, kini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan akan segera memanggil pihak Kemendikbud untuk memberikan penjelasan soal kebijakan yang tertuang di dalam surat edaran bernomor 152/E/T/2012 tersebut.

Sebagaimana dilansir oleh www.dikti.go.id, ada tiga poin dari kebijakan yang dikeluarkan tanggal 27 Januari 2012 itu. Pertama, untuk lulus program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah. Kedua, untuk lulus program Magister harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Dikti. Ketiga, untuk lulus program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional.

Momentum Reformasi

Adapun alasan penolakan yang dilontarkan oleh APTISI, karena saat ini jumlah karya ilmiah yang terbit dalam suatu jurnal masih terbatas. Hal itu tidak berimbang dengan jumlah mahasiswa di seluruh Indonesia. Sehingga keterbatasan jurnal ilmiah dikhawatirkan tidak mampu mencover karya mahasiswa nantinya.

Oleh karena itu, menurut APTISI mahasiswa yang menempuh di perguruan tinggi lebih baik didorong untuk bersikap inovatif. Sementara mahasiswa pascasarjana dan doktoral cukup didorong untuk menerbitkan karyanya pada jurnal nasional maupun internasional (detik.com,12/02).

Argumentasi berbeda datang dari pengambil kebijakan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh, mengemukakan rasionalisasi bahwa kewajiban publikasi ilmiah akan mendorong tumbuhnya budaya ilmiah dan pengembangan keilmuan. Karena selama ini kampus yang notebenenya merupakan ruang khusus bagi entitas intelektual, belum cukup dinamis menjadi ruang dialketika ilmiah.

Dengan publikasi karya ilmiah, dosen dan mahasiswa diharapkan serius dalam mengerjakan skripsi, disertasi, tesis, maupun karya ilmiah lainnya. Sebab, publikasi karya ilmiah secara luas bisa mendorong munculnya diskusi atau dialektika yang sehat.

Adapun kekhawatiran munculnya plagiarisme karena kompetensi menulis karya ilmiah masih rendah, telah diantisipasi. Sebelumnya telah ada kebijakan yang mendahului. Yaitu kebijakan unggah karya (online) yang tertuang di dalam surat edaran bertanggal 30 Desember 2011, Nomor 250/E/T/2011. Unggah karya ini memudahkan pelacakan jika merupakan hasil plagiasi.

Bagi penulis yang setiap hari bersentuhan dengan rekan-rekan mahasiswa dan tahu persis rendahnya budaya akademik di sebagian besar universitas, kebijakan Dikti tersebut justru harus diapresiasi. Walaupun memang ada sisi hambatan untuk realisasi secara ideal. Seperti budaya membaca, menulis dan meriset yang masih rendah karena berbagai faktor.

Misalnya keterbatasan dana dan tools yang seharusnya difasilitasi oleh pemerintah atau institusi pendidikan. Positifnya, kebijakan tersebut akan meningkatkan minat baca, diskusi dan meriset di kalangan mahasiswa dan dosen.

Jual Beli Gelar

Satu kenyataan yang cukup memiriskan, bahwa gelar akademik yang sangat suci dan sakral kini menjadi komoditas. Kerap kali, oknum pegawai yang ingin naik jabatan kemudian secepat kilat mengejar gelar. Peraturan di instansi (pemerintah maupun swasta) seringkali mensyaratkan gelar untuk posisi tertentu. Hal ini membuka celah pelacuran intelektual, membeli gelar.

Praktek beli gelar ini juga banyak dilakukan oleh kalangan politisi. Tiba-tiba seorang politisi memiliki jejeran gelar yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan. Biasanya mereka “membeli” gelar untuk kepentingan pragmatis. Misalnya jelang pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Sekadar untuk gagah-gagahan agar terkesan intelek dan layak jual dalam pasar politik yang kian kompetitif dan kompleks.

Gelar tersebut tentu tetap melalui prosedur. Tapi prosedur yang telah dilicinkan dengan fulus. Yang penulis amati, sebagian besar diperoleh dari perguruan tinggi swasta karena aturannya “fleksibel”. Jika begini, akhirnya lembaga pendidikan menjadi sarang mafia gelar. Menjadi industri gelar yang akhirnya melahirkan sarjana, magister atau doktor yang tidak memiliki untegritas intelektual. Tidak bisa mempertanggungajwabkan gelarnya di hadapan masyarakat dan iman ilmu pengetahuan.

Berbeda misalnya ketika diwajibkan menerbitkan karya tulis ilmiah, maka konsekuensi atas pertanggungajwaban integritas gelar sebagai output menempuh pendidikan tidak hanya dipikul oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. Akan tetapi juga menjadi tanggungjawab banyak pihak. Baik Dikti atau LIPI sebagai lembaga yang berwenang mengakreditasi suatu jurnal, lembaga pengelola jurnal yang menerbitkan karya sang penulis serta tanggungjawab perguruan tinggi tempat yang bersangkutan memperoleh gelar. Maka manfaat lain kebijakan tersebut adalah menutup celah praktek suap atau dagang gelar.

Selain dagang gelar, persoalan lain yang kita saksikan selama ini adalah kurangnya kontribusi mereka yang telah bergelar Sarjana, Magister ataupun Doktor kepada dunia akademik dan masyarakat secara umum. Gelar seolah hanya pelengkap dan menjadi penanda akhir dari perjalanan akademik seseorang. Padahal gelar tersebut harusnya menjadi titik tolak untuk melakukan penelitian dan menghasilan formula-formula baru yang bermanfaat bagi kepentingan bersama.

Maka kewajiban menerbitkan karya tulis di dalam jurnal ilmiah, bisa menjadi momentum untuk membagun kesadaran akan tanggungjawab akademik tersebut. Karena gelar, seharusnya hanya dipergunakan pada ruang akademik atau ruang ilmiah. Bukan dikesploitasi pada posisi yang justru menjerembabkan simbol intelektualitas sebagai komoditi murahan dan merendahkan posisi perguruan tinggi sebagai kawahcandradimuka yang melahirkan intelektual organik, berubah menjadi institusi komersil.

Pada akrhinya, gelombang penolakan yang terjadi, sekaligus menguak wajah buruk pendidikan tinggi selama ini. Utamanya gap antara PTN dan PTS. Maka tanggungjawab pemerintah untuk mengawal kebijakan publikasi makalah pada jurnal ilmiah ini agar tidak meninggalkan kejomplangan di sana sini.

Disisi lain, kemungkinan maraknya plagiasi, atau makalah pesanan, harus diantisipasi. Bisa jadi, awal dari kebijakan ini merepotkan karena ketidaksiapan perguruan tinggi. Kebijakan ini seperti vitamin pahit yang harus ditelan demi menjaga kesehatan untuk jangka panjang. Melahirkan outcome yang berkualitas dan memiliki daya saing demi mengangkat harkat bangsa Indonesia. Kebijakan ini harus dikawal secara sinergis. Pemerintah tidak boleh lepas tangan.


· · Bagikan