Dimuat pada kolom opini Koran Jurnal Nasional edisi 12/03/2012
“PADA tataran lokal, sinisme saling berkaitan, saling membantu, menyebar dan mendapat dukungan luas,‘ ungkap Michael Focault dalam Lavolente de Savoir (1976) terkait efek bola salju dari sebuah gerakan sosial mengeritisi pemerintah. Tamsil Focault tersebut relevan dengan ragam ironi wajah politik dan hukum yang direpresentasikan oleh perilaku korup pejabat publik akhir-akhir ini. Sketsa banalitas penguasa yang akhirnya melahirkan sinisme kolektif terhadap kekuasaan.
Optimisme Ekonomi
Namun di tengah kompleksitas problem politik dan hukum yang mengerinyitkan hati, tersisa seberkas optimisme dari sektor perekonomian. Optimisme yang menggambarkan ekspektasi besar tentang perbaikan kehidupan di masa-masa datang
Hal tersebut terungkap dari hasil survei terbaru Lembaga Survey Indonesia (LSI), Minggu (19/2/2012). Menurut survei yang dilakukan 1-12 Februari 2012 dengan melibatkan 2.050 responden tersebut, rakyat secara umum cenderung lebih positif dalam melihat keadaan ekonomi nasional saat ini. Perekonomian menunjukkan tren positif dan dipandang semakin optimistis.
Sebagaimana dikatakan peneliti LSI, Burhanudin Muhtadi, tercatat 42 persen responden menilai perekonomian satu tahun ke depan lebih baik, enam persen jauh lebih baik. Sementara yang menilai jauh lebih buruk hanya satu persen, lebih buruk (tujuh persen), tidak ada perubahan (22 persen), dan tidak tahu atau tidak jawab (21 persen).
Untuk kondisi saat ini, 30 persen responden menyatakan keadaan ekonomi nasional membaik, yang melihat lebih buruk hanya 24 persen, kemudian 35 persen tidak ada perubahan, enam persen tidak tahu/tidak jawab, dua persen jauh lebih baik, dan dua persen lagi melihat jauh lebih buruk.
Survei LSI sekaligus mengonfirmasi apresiasi yang diberikan berbagai lembaga internasional beberapa waktu lalu. Sebelumnya, dua lembaga pemeringkat yang diakui dunia, yaitu Fitch Ratings dan Moody‘s Investors Service, memberikan peringkat layak investasi kepada Indonesia.
Besarnya jumlah kelas menengah merupakan salah satu variabel yang turut berperan dalam mengerek naik optimisme perekonomian Indonesia. Kelompok kelas menengah ini diyakini menjadi penggerak utama sektor konsumsi domestik sehingga perekonomian Indonesia tahan guncangan krisis yang hingga saat ini masih mengamuk di AS dan Eropa serta telah berdampak negatif di beberapa negara Asia seperti China dan India. Data World Bank tahun 2010 menunjukkan, kelas menengah di Indonesia telah menembus angka 134 juta jiwa atau setara dengan 56,5 persen dari 240 juta total penduduk.
Faktor kedua, yaitu pertumbuhan ekonomi yang cenderung stabil, semakin memperluas akses lapangan kerja sehingga berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Membaiknya tingkat kesejahteraan merangsang tingginya tingkat konsumsi masyarakat. Sebagaimana disebutkan Rhenald Kasali (2010), salah satu ciri kelas menengah adalah gaya hidup yang cenderung konsumtif.
Gelombang gaya hidup konsumtif sekaligus bisa menjadi instrumen optimisme ekonomi. Hal ini bisa kita baca dari semakin menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan dengan jumlah pengunjung yang membludak. Kafe, resto, dan tempat kongkow-kongkow juga dipenuhi oleh anak muda. Angka pembelian kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat serta volume transportasi udara juga meningkat.
Kebangkitan kelas menengah dengan gaya hidup yang khas tersebut merupakan peluang besar untuk semakin mengakselerasi perekonomian karena akan mendongkrak kuantitasdemand. Namun, era perdagangan bebas yang menyebabkan semakin mudahnya produk-produk asing masuk ke Indonesia menjadi ancaman jika tidak disertai kesiapan bersaing.
Maka itu, perlu langkah-langkah strategis dalam menjalani era kompetitif ini. Pertama, perlu standardisasi kualitas produk, baik barang maupun jasa. Kualitas produk dalam negeri harus bisa mengimbangi atau bahkan mengalahkan produk asing. Semangat standar nasional Indonesia (SNI) yang beberapa waktu lalu dikampanyekan, harus diteruskan.
Kedua, kampanye “Aku Cinta Produk Indonesia‘ harus dimasifkan hingga menciptakanawarness (kesadaran) yang terpatri secara kolektif. Brand Indonesia harus diungkit menjadi prestise tersendiri. Dalam hal ini, perusahaan-perusahaan lokal pun perlu memperkuatbranding dengan pendekatan rasional dan emosional.
Rasional dalam arti, secara kualitas, produk-produk lokal memang layak digunakan. Emosional berarti mengangkat sisi lokalitas sebagai kebanggan. Peluang memperkuat branding lokal ini semakin terbuka dengan kreasi-kreasi baru anak Indonesia yang belakangan marak, seperti mobil Esemka misalnya. Ini momentum baik yang harus dimanfaatkan.
Entrepreneur Muda
Akhirnya, optimisme tersebut tak cukup menjadi sekadar bak lukisan indah di permukaan air, namun bisa sirna seketika hanya oleh riak kecil. Apalagi saat ini badai krisis ekonomi di Eropa dan AS terus meminta tumbal, menyeret negara-negara mitra dagang mereka, termasuk Indonesia.
Variabel lain yaitu gejolak politik jelang pesta demokrasi 2014. Momentum lima tahunan ini bisa saja turut memengaruhi hingga menghambat iklim perekonomian jika tak disertai kemampuan mengelola dinamika yang kian menggila. Karena itu, pemerintah harus menutup celah yang bisa membuat bangunan ekonomi keropos. Pertama, mengarahkan investasi pada sektor ril padat karya dan padat teknologi.
Kedua, membuka peluang-peluang baru yang melibatkan entrepreneur-entrepreneur muda dengan mempermudah akses pertumbuhan usaha mikro sehingga pada gilirannya berperan sebagai bantalan ekonomi. Kita ketahui, rasio entrepreneur saat ini masih sangat kecil. Data yang kami (HIPMI) miliki, baru ada 0,18 persen entrepreneur dari total penduduk. Artinya, masih dibutuhkan banyak entrepreneur di negeri ini.
Hanya dengan langkah-langkah tersebut, optimisme yang direkam oleh survei LSI bermanfaat untuk mengonstruksi pembangunan ekonomi secara berkesinambungan. Yaitu, pembangunan dengan pola pertumbuhan yang menggunakan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan tetap menjaga lingkungan sebagai habitus resources. Sehingga, kebutuhan tersebut tidak habis untuk generasi sekarang, melainkan tetap terjaga untuk generasi masa depan. Pola ini disebut Environment, Local People and Future (ELF).
Link : http://www.jurnas.com/halaman/10/2012-03-12/202033