OPINI JUSMAN DALLE di JURNAL NASIONAL Selasa 7 Februari 2012
***
BANYAK yang ragu, skeptis dan bahkan pesimistis dengan sosok Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru terpilih, Jumat (2/12) tahun lalu. Sebagian belum bisa membaca postur, apa lagi menakar Abraham secara utuh. Terutama dalam pemikiran-pemikiran strategis bagaimana membabat korupsi di negeri ini.
Maklum, Abraham bukan berasal dari tokoh nasional yang sudah populer seperti Bambang Widjojanto, aktivis antikorupsi dan penasihat ICW atau Busyro Muqoddas pendahulunya sebagai Ketua KPK. Abraham tak memiliki rekaman nasional seperti dua nama yang disebutkan di awal.
Abraham hanyalah aktivis antikorupsi dari daerah yang jauh dari sorot kamera. Dari segi citra, Abraham tidak punya. Dari segi integritas, mungkin ada tapi belum bisa meyakinkan publik. Dari perspektif leadership, seliberasi minor ini menjadi tantangan bagi Abraham. Memimpin di tengah riuh rendah skeptisme, itulah tantangannya.
Ujian Setahun
Dengan “kekaburan-kekaburan" tersebut, mengapa DPR yang diwakili oleh Komisi III yang membidani soal hukum, berani memilih Abraham yang juga tergolong masih muda, bahkan termuda di antara semua pemimpin KPK (45 tahun)? Apakah karena DPR telah ada dealdengan Abraham, atau karena melihat Abraham lebih mudah disetir untuk kepentingan politik?
Tentu, terlalu sinis jika menjustifikasi demikian secara dini. Karena toh, di hadapan publik Abraham telah mengikrarkan kontrak sosialnya. Jika dalam setahun tidak bisa berbuat apa-apa, maka ia akan pulang alias mundur dari jabatan sebagai anggota KPK. Bahkan Abraham coba meyakinkan kita dengan pernyataan garang khas Makassar. "Saudara saya pun yang saya cintai, kalau korupsi saya gantung. Tak ada tebang pilih. Kita harus on the track," begitu alumni Universitas Hasanuddin tersebut berikrar.
Nah, sebagai ujian awal, di hadapan para pimpinan KPK yang dikomandoi darah segar pemimpin termuda sepanjang sejarah KPK ini, sudah berderet rapi kasus melempem yang menunggu dituntaskan. Pertama, kasus baillout Bank Century yang merugikan negara sekitar Rp 6,7 triliun. Kasus ini menjadi kompleks karena ditarik ke ranah politik. Oleh karenanya, pimpinan KPK yang baru harus resisten dengan tekanan politik dan kekuasaan.
Kedua, ada Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menimbulkan kerugian negara sekitar Rp138 triliun atau 95,78 persen dari jumlah yang disalurkan. Kasus yang terjadi akibat krisis tahun 1998 ini sudah berlarut-larut dan dipetieskan oleh aparat hukum. Ketiga, kasus Gayus Tambunan dan pengemplangan pajak yang juga ditarik ke ranah politik. Pascatertangkapnya Gayus, kasus ini meredup. Padahal, sejumlah informasi beredar: ada kurang lebih 150 perusahaan pengemplang pajak yang merugikan penerimaan negara, termasuk 14 perusahaan migas dari luar negeri dengan perkiraan akibat kerugian sebesar Rp 2,6 triliun.
Keempat, kasus Wisma Atlet SEA Games dan kasus kompleks olah raga Hambalang di Bogor. Menurut kesaksian Nazaruddin yang telah menjadi tersangka, kasus Hambalang juga melibatkan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum serta anggota DPR Angelina Sondakh. Kasus besar kelima adalah kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia.
Keenam, baru-baru ini publik dikagetkan dengan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai adanya rekening buncit sejumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dari temuan tersebut, nampak ada aliran dana dari APBN/APBD yang mengarah padamoney laundry dengan nominal Rp7 triliun dari sekitar 6.000 rekening tak jelas yang telah dibekukan.
Seperti janji Abraham saat tampil di salah satu stasiun TV swasta, periode kepemimpinannya akan difokuskan pada apa yang dikategorikan dalam grand corruption. Yaitu, korupsi yang besar dan berdampak sistemik bagi kehidupan bangsa,. Maka untuk tahun pertama, minimal enam ujian kasus di atas harus bisa dijawab dengan memuaskan.
Abraham vs Namrud
Semangat berapi-api ala anak muda yang bisa kita tangkap dari lontaran pernyataan Abraham Samad, disertai sambutan sederet kasus kompleks, memutar memory kita ke periode 1997-1822 SM. Di sana, membentang kisah Nabi Ibrahim yang diceritakan cukup detail oleh sejarawan Omar Hasem dalam bukunya, Muhammad Sang Nabi.
Dikisahkan, Ibrahim atau biasa disebut Abraham, di Babilonia menghadapi Namrud, raja yang sok superpower, korup dan otoriter. Semua kezaliman menyatu dalam dirinya. Namrud menempuh berbagai cara untuk menghabisi Ibrahim yang berusaha menunjukkan kebenaran pada rakyatnya. Namun kekejaman Namrud tak membuat Ibrahim mundur meski sehasta. Ibrahim yang meyakini kebenaran cahaya iman dalam dirinya bahkan menghancurkan berhala-berhala Namrud. Abraham melawan.
Puncaknya, Abraham dibakar hidup-hidup. Tapi saat menghadapi kobaran api yang terus membara biru, Ibrahim tetap teguh dengan keyakinan yang telah mulai menggoyahkan kekufuran sebagian kaum Namrud, termasuk anaknya, Puteri Razia, yang akhirnya juga dibakar. Namun mukjizat mendahului, sehelai bulu di tubuh Ibrahim tak ada yang terbakar. Semangatnya melawan kekufuran dan kezaliman akhirnya berbuah kemenangan.
Jika dianalogikan, dalam konteks terpilihnya sebagai Ketua KPK periode 2011-2015, Abraham dihadang banyak tantangan, seperti Raja Namrud yang berusaha menghabisi Nabi Ibrahim. Selain kasus-kasus besar yang mengakumulasi superioritas koruptor layaknya sosok Raja Namrud, momentum pemilu yang semakin dekat juga diyakini akan turut memengaruhi performa KPK. Abraham harus bisa melampaui berbagai upaya Namrud-Namrud modern yang bisa mengooptasi pemberantasan korupsi di negeri ini.
Pernyataan Abraham yang terbilang keras, tegas dan lugas karena latar belakang sosiologis datang dari daerah bahari yang harus bersaing dengan deru ombak, sudah tentu menjadi kekhawatiran para koruptor. Koruptor tidak akan tinggal diam. Mereka pasti mengonsolidasi diri untuk menyelamatkan diri atau bahkan melakukan serangan balik.
Pada titik inilah, Abraham patut waspada, harus lebih lincah daripada koruptor. Abraham harus memfungsikan semua elemen dan mengonsolidasi potensi di tubuh KPK untuk bergerak bersama. Bersinergi dengan institusi hukum lainnya (Polri dan Kejaksaan) serta berbagai lembaga civil society, termasuk media massa.