Mata Air Pikiran Mengalir Membentuk Kenyataan

  • Opini Kompas | IMF dan Malapraktik Diplomasi

    Jusman Dalle | Opini Harian Kompas Pemerintah memastikan bakal memberikan bantuan pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 9,4 triliun. Terkait komitmen Indonesia ini, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, IMF diharapkan tidak hanya menggunakan pinjaman ini untuk membantu negara-negara di Eropa, tetapi juga negara-negara di Asia dan Afrika.

  • Opini Republika | Urgensi Badan Haji

    Jusman Dalle - Opini Republika | Untuk mencapai tujuan pertama yaitu manfaat transformasi manajemen, Badan Haji yang nantinya bakal berfungsi sebagai eksekutor saja, merampingkan organisasi serta secara otomatis memotong rantai birokrasi bertingkat dan kompleks yang melibatkan banyak institusi. Badan Haji juga mengakhiri rezim monopoli kewenangan sebab Kemenag tinggal memegang satu fungsi, yaitu sebagai regulator sementara Komisi VIII DPR yang membawahi persoalan haji, berfungsi sebagai evaluator.

  • Profil Jusman Dalle

    Jusman juga menekuni digital marketing. Merancang dan membuat konten digital berupa tulisan (copywriter), visual dan audio visual untuk sejumlah perusahaan dan institusi skala nasional. Antara lain Partai Gerindra, Kedutaan Besar Jerman, Taksi Ekspress, Bank BTN, PLN, XL Axiata, Agung Podomoro Land, True Money, dll.

  • Rawan Pangan Negeri Pertanian

    Jusman Dalle - Opini Koran Tempo | Program revitalisasi sektor pertanian yang pernah dijanjikan sejak 2005 masih sebatas lip service. Infrastruktur irigasi rusak parah, jalanan di desa-desa basis pertanian pun belum memadai. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 9,25 juta hektare juga baru sebatas “angin surga”.

5.1.12

Wall Street dan Bima dalam Potret Ekonomi Kemanusiaan


Diterbitkan di opini koran Jurnal Nasional edisi Selasa 3 Januari 2011

DR YUSUF Qardhawy (2001) mengatakan bahwa di antara makna kemanusiaan yang paling menonjol dalam ekonomi Islam adalah perannya dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi manusia. Islam dengan sistem ekonominya telah mendorong manusia untuk bekerja dan aktif berbuat sebagai manifestasi ibadah. Di balik aktivitas ekonomi tersebut, terdapat tujuan kemanusiaan yang mulia, yaitu merealisasi kehidupan yang baik bagi manusia seluruhnya. Memanusiakan manusia.

Penyataan Ketua Persatuan Ulama Sedunia (The International Ulama Council) tersebut mengonfirmasi bahwa praktik ekonomi semestinya secara universal berlandaskan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Ekono mi dibangun tanpa sekat (asas keadilan, apalagi menimbulkan kelas-kelas ekonomi yang reduktif terhadap fitrah manusia sebagai makhluk yang ingin maju dan menikmati kesejahteraan.

Rancang bangun logika ekonomi kemanusiaan ini paradoks dengan "ruh" ekonomi kapitalis yang kita saksikan tampak sangat jelas mengultuskan individu dan kepentingan pribadi, sehingga memiliki kebebasan yang hampir mutlak dalam kepemilikan. Oleh Herbert Spencer (1864) yang mencoba mengorelasikan teori survival for the fittes dari buku On The Origin of Species Charles Darwin ke aras ekonomi, "pengultusan individu" tersebut dipandang sebagai bagian terintegrasi dari proses seleksi alam.

Sebelumnya, "dewa" kapitalisme Adam Smith (1776) telah menyampaikan sabda keyakinannya terhadap kehadiran tangan ajaib (the invisible hand), yang secara mekanis menurutnya akan mengatur aktivitas ekonomi manusia. Termasuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan ekonomi.

Namun, setelah berabad-abad lalu Smith, Darwin, dan Spencer menyampaikan teori yang bermuara pada satu gagasan itu, kini kapitalisme justru gagal menyejahterakan manusia. Kapitalisme hanya "berhasil" membangun peradaban material yang rapuh. Maka kini, di Barat ia berbalik dibenci karena hanya menciptakan jurang yang begitu dalam. Kapitalisme menjadikan individu sebagai makhluk superior dan mewujud megalomania, sehingga perekonomian berubah menjadi medan pertarungan keserakahan.

Dari Wall Street ke Bima

Dalam tataran panggung globalisasi, Josephh E Stiglitz (2006) peraih Nobel Ekonomi 2001 menggambarkan keserakahan tersebut dengan mengalirnya uang dari negara kaya ke negara miskin. Artinya, badan keuangan dunia seperti IMF dan Bank Dunia justru mengalami defungsionalisasi; tidak mampu membalik arus uang dan menyebarkan

kesejahteraan kepada negara-negara yang selama ini justru dijadikan sebagai pasar dan tumpuan dasar atas kemajuan kapitalisme.

Ledakan demonstrasi dan gerakan occupy Wall Street, yang begitu cepat menyebar di berbagai belahan dunia beberapa waktu lalu, merupakan bukti nyata bahwa kemanusiaan tidak dirasakan kehadirannya di atas kemajuan peradaban material saat ini. Sebaliknya, pembangunan ekonomi justru mendeterminasi nilai-nilai kemanusiaan.

Apa yang dikatakan sebagai "kutukan sumber daya alam" oleh Stiglitz sebagaimana dikutip oleh Amien Rais dalam bukunya Selamatkan Indonesia (2008), setidaknya tampak terjadi di Indonesia. Paradoks buah kapitalisme adalah realitas yang tak bisa dibantah, antara sumber daya alam yang melimpah dan angka kemiskinan yang membengkak. Keadaan semakin diperparah oleh mental korup para pejabat.

Jika di panggung global Wall Street disoroti, maka dalam konteks ekonomi nasional, konflik yang melibatkan korporasi yang mengatasnamakan diri sebagai investor versus masyarakat seperti terjadi di Papua oleh PT Freeport, di Mesuji oleh PT Silva, dan terbaru di Bima yang melibatkan PT Indo Mina Persada dan PT Sumber Mineral Nusantara, merupakan wajah buruk dan bentuk nyata keserakahan kapitalisme yang mengabaikan kemanusiaan.

Kisruh karyawan di PT Freeport, pertikaian di Mesuji dan Bima, merupakan ledakan akumulasi rasa ketidakadilan yang dialami warga atas hak-hak dasar mereka. Baik hak tempat tinggal maupun hak memperoleh penghidupan yang layak melalui tanah garapan dan pekerjaan mereka di daerah yang akan dieksplorasi oleh para investor. Negara seharusnya hadir sebagai pengayom, mempertemukan antara kepentingan pengusaha dan keinginan masyarakat. Tapi fakta, kita melihat negara dengan aparat pemerintah daerah dan aparat keamanan sebagai reprsentasinya, justru menjadi sosok superior yang berlaku barbar atas warganya.

Kapitalisme Negara

Migas merupakan komoditas utama dalam transaksi dagang internasional. Bermunculannya industri, baik di negara-negara maju maupun negara berkembang yang menuju negara maju, menyebabkan permintaan migas melonjak tajam. Tentu, selain faktor di luar skenario seperti kebutuhan untuk operasi militer di daerah perang.

Karena kepentingan migas ini pula, investasi di negara kaya sumber daya alam seperti disinyalir oleh Stiglitz di atas, mengarus deras (alat ke-3 menurut Bremmer, dan tampaknya ini yang menjadi tren). Di negara-negara dengan pemerintahan yang tidak transparan dan cenderung korup seperti Indonesia, izin investasi sering kali lepas dari pantauan publik sehingga rentan dimanipulasi dengan perselingkuhan antara pemodal dan penguasa setempat.

Ketika terjadi pola patron klien seperti itu, maka hak rakyat dipertaruhkan. Masa depan bangsa dijual demi rupiah. Sebenarnya, hal ini bertautan dengan sistem politik yang ber-cost tinggi. Jika Bremmer dengan pandangan ekonomi politiknya menandai patron-klien sebagai alamat kematian bagi pasar bebas, maka Fahri Hamzah (2010) mengugat. Bagi Fahri, seharusnya pasar hadir dan membuka diri agar bisa diakses oleh masyarakat dan dapat berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi (demokrasi ekonomi).

Pada titik ini, maka negara sebagai pengendali politik tidak bisa tinggal diam dan abai terhadap rakyatnya hingga digilas oleh pelaku-pelaku pasar. Apa lagi menjadi penggilas, yang berarti negara menjadi Leviathan. Sebagaimana sketsa dalam legenda Thomas Hobbes, yang secara modern digambarkan menjadi serigala ekonomi atas ketidakberdayaan rakyat. Maka, hilanglah nilai-nilai kemanusiaan dalam aktivitas ekonomi dan politik kita. Gerakan occupy Wall Street dan peristiwa berdarah di Bima, adalah peringatan keras yang tak bisa diacuhkan