Mata Air Pikiran Mengalir Membentuk Kenyataan

  • Opini Kompas | IMF dan Malapraktik Diplomasi

    Jusman Dalle | Opini Harian Kompas Pemerintah memastikan bakal memberikan bantuan pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 9,4 triliun. Terkait komitmen Indonesia ini, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, IMF diharapkan tidak hanya menggunakan pinjaman ini untuk membantu negara-negara di Eropa, tetapi juga negara-negara di Asia dan Afrika.

  • Opini Republika | Urgensi Badan Haji

    Jusman Dalle - Opini Republika | Untuk mencapai tujuan pertama yaitu manfaat transformasi manajemen, Badan Haji yang nantinya bakal berfungsi sebagai eksekutor saja, merampingkan organisasi serta secara otomatis memotong rantai birokrasi bertingkat dan kompleks yang melibatkan banyak institusi. Badan Haji juga mengakhiri rezim monopoli kewenangan sebab Kemenag tinggal memegang satu fungsi, yaitu sebagai regulator sementara Komisi VIII DPR yang membawahi persoalan haji, berfungsi sebagai evaluator.

  • Profil Jusman Dalle

    Jusman juga menekuni digital marketing. Merancang dan membuat konten digital berupa tulisan (copywriter), visual dan audio visual untuk sejumlah perusahaan dan institusi skala nasional. Antara lain Partai Gerindra, Kedutaan Besar Jerman, Taksi Ekspress, Bank BTN, PLN, XL Axiata, Agung Podomoro Land, True Money, dll.

  • Rawan Pangan Negeri Pertanian

    Jusman Dalle - Opini Koran Tempo | Program revitalisasi sektor pertanian yang pernah dijanjikan sejak 2005 masih sebatas lip service. Infrastruktur irigasi rusak parah, jalanan di desa-desa basis pertanian pun belum memadai. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 9,25 juta hektare juga baru sebatas “angin surga”.

7.11.11

Libya dan Papua

Dimuat di Opini Detik.com Edisi Selasa, 25/10/2011
Jakarta - Ada dua topik pada paruh terakhir bulan Oktober ini yang menjadi trending news di media nasional dan juga diberitakan media internasional, baik media massa cetak, online, elektornik maupun social media.

Satu datang dari luar negeri nun jauh di Afrika, satunya lagi datang dari ujung timur Indonesia, tepatnya dari Libya dan Papua. Kedua peristiwa tersebut hanya berselang satu hari.

Pertama soal pembubaran Kongres Rakyat Papua III pada Rabu (19/10/2011) di Lapangan Zakeus, Abepura, Papua, yang berujung tewasnya sejumlah orang dan menyebabkan Papua tegang hingga kini. Kedua yaitu peristiwa tewasnya Muammar Abu Minyar al-Qaddafi (69) atau lebih populer dengan nama Muammar Qaddafi pada Kamis (20/10).

Demokratisasi

Jalan perlawanan terhadap Qaddafi merupakan drama panjang yang dimulai sejak awal tahun 2011 ini. Setelah melalui peperangan tak kurang dari tujuh bulan -sejak Maret-, Qaddafi yang telah menguasai Libya selama 42 tahun, diberondong senjata oleh rakyatnya sendiri yang menginginkan demokratisasi, di bawah komando National Transitional Council (NTC) yang mendapat back up penuh dari negara-negara koalisi Barat diantaranya Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Inggris dan NATO.

Ending dari badai demokrasi yang mengamuk di Libya menyimpan pelajaran berharga. Bukan saja pada latar belakang pemicu atau stimulus revolusi tersebut, akan tetapi rahasia-rahasia yang nampak kasat mata. Pemberontakan rakyat Libya tidak terlepas dari isu utama yaitu demokratisasi.

Bahwa Libya di bawah pemerintahan Qaddafi merupakan negara otokrasi, model pemerintahan otoriter yang sangat represif dan hampir diterapkan oleh semua negara di Timur Tengah, termasuk yang telah dilalui gelombang demokratisasi seperti Mesir dan Tunisia, mapun yang sedang keteteran menghalau badai tersebut seperti di Yaman dan Suriah.

Qaddafi menambah daftar nama dalam prasasti pemimpin despotik yang berakhir tragis akibat melawan kehendak rakyat. Sebelumnya telah ada Ben Ali, tiran yang menguasai Tunisia selama 22 tahun, Husni Mubarak, tiran Mesir yang berkuasa selama 30 tahun. Keduanya terjungkal dari kekuasaan karena gerakan revolusi rakyat.

Jalan menuju demokratisasi di Libya dibayar dengan ongkos yang sangat mahal. Negara kaya minyak dan gas itu porak-poranda akibat peluru, granat dan rudal baik dari loyalis Qaddafi, gerakan revolusi NTC maupun yang dimuntahkan senjata pasukan koalisi Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Inggris dan NATO.

Bahkan, kini Libya berada dalam ketidakpastian. Masih terjadi friksi sehingga berpotensi melanggengkan perang saudara. Selain itu, ancaman lain yang menghadang adalah proses rekonstruksi Libya yang pastinya akan melibatkan pihak-pihak asing, khususnya mereka yang oleh NTC dianggap “berjasa” dalam gerakan perlawanan menggulingkan pemerintahan Khaddafi.

Peran serta pihak-pihak asing dalam bagi-bagi proyek, utamanya proyek migas yang merupakan sumber kekayaan utama Libya, akan menimbulkan disparitas ekonomi baru.

Eksploitasi migas akan dikendalikan sekelompok pihak, baik itu dari Barat maupun pemerintahan dalam negeri yang tidak dijamin keberpihakannya pada kepentingan nasional karena sikap ewuh pakewuh pada Paman Sam dan paman-paman lain yang membantu proyek perang NTC.

Jika saja pemerintahan yang baru tidak mampu meningkatkan atau minimal menyamai kesejahteraan semasa Qaddafi, artinya Libya hanya dihantar pada jurang kehancuran.

Libya di bawah Qaddafi merupakan negara yang cukup sejahtera. Mengutip dari Marwan Batubara, kekayaan migas Libya menyimpan cadangan sekitar 44 miliar barel dengan laju pengurasan yang konstan sekitar 1,6 juta barel per hari, sehingga produksi migas Libya akan bertahan sekitar 80 tahun.

Dengan penduduk hanya sekitar enam juta jiwa, kehidupan rakyat Libya cukup sejahtera. Faktanya dalam hal indeks kemiskinan, Libya berada pada posisi 33, lebih baik dibanding Tunisia di posisi 43, Aljazair 53, dan Mesir 55. Tingkat kesejahteraan manusia (human development index) rakyat Libya lebih tinggi dari Arab Saudi, Tunisia, dan Mesir.

Tingkat harapan hidup (life expectancy) penduduknya pun meningkat 39 persen dalam periode 1975-2005; tingkat buta aksara pada periode yang sama telah turun dari 32 persen menjadi 12 persen. Angka kematian anak juga menurun secara dratis dalam dua dekade terakhir. Pada praktiknya, pemerintahan Qadafi memang memberikan pendidikan gratis dan santunan rutin dana minyak kepada rakyat.

Makar Papua Merdeka

Kisah perjalanan demokratisasi Libya dan teka-teki masa depan yang ditentukan oleh kematangan rakyatnya, relevan untuk menjadi pelajaran bagi Indonesia yang hari-hari ini berdegup kencang akibat adanya gerakan makar yang ingin memerdekakan Papua Barat.

Sebagaimana disebutkan di awal, bahwa pada Rabu (19/10/2011), beralangsung Kongres Rakyat Papua III. Acara yang dihadiri sekitar 5.000 peserta itu digelar di Lapangan Zakheus, Abepura.

Otoritas Nasional Papua Barat (West Papua National Autority/WPNA) merekomendasikan Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut sebagai Presiden Republik Demokratik Papua Barat. Adanya gerakan makar ini menyimpan dua pesan bagi dua pihak, yaitu Pemerintah Pusat dan WPNA.

Pertama, di Libya Qaddafi memang berhasil mendistribusikan kekayaan migas dalam bentuk kesejahteraan kepada rakyatnya, namun tidak disertai dengan rasa keadilan akan hak-hak demokratisasi, sehingga mereka memberontak.

Di Papua terjadi sebaliknya, kekayaan alam khususnya hasil tambang seperti emas dan tembaga yang melimpah namun tidak disertai dengan kesejahteraan masyarakat setempat yang seharusnya paling pertama mendapatkan manfaat dari kekayaan alam tersebut. Kata kuncinya ada pada hak dan keadilan.

Otonomi khusus yang diberikan, hanya menjadi lahan korupsi dan melahirkan raja-raja kecil yang menghegemoni kelemahan masyarakat yang belum cukup dewasa dalam berdemokrasi.

Bahkan dalam beberapa pilkada misalnya, justru rakyat dieksploitasi dan berujung pada konflik horizontal. Kita ketahui bahwa konflik kekerasan pilkada Papua yang terjadi di Kabupaten Puncak Jaya, Pinai, dan Tanjakan Gunung Merah pada Agustus lalu, telah menyebabkan korban tewas 19 orang (Tempointeraktif, 1 Agustus)

Kedua, bahwa provokasi untuk memerdekakan Papua Barat, kita sudah saksikan ternyata juga bersumber dari luar negeri. Misalnya Komite Relasi Internasional Parlemen AS (kongres dan senat) menggolkan sebuah Rancangan Undang-Undang yang berisikan dukungan pada kebebasan Papua.

RUU itu disebut HR 2601, The State Department Authorization Act for FY2006, yang diprakarsai oleh dua anggota Kongres AS, yaitu Donald M Payne (asal Newark, New Jersey) dan Eni FH Faleomavaega (asal Samoa Amerika). Walaupun dikemudian hari, Kongres AS secara kelembagaan membantah hal tersebut.

Kepentingan asing di Papua juga bisa dideteksi dari sikap pemerintah Australia yang beberapa kali mencoba memprovokasi agar Papua memerdekakan diri. Misalnya pemberian visa dari pemerintah Australia kepada 42 warga Papua. Pemberian visa ini melanggar konsensus internasional.

Selama ini negara asing (khususnya Barat) dangat doyan melakukan intervensi di berbagai belahan dunia yang kaya raya untuk mengisi kantong-kantong mereka yang melompong akibat krisis global. Nahasnya, intervensi yang katanya untuk menegakkan HAM dan demokrasi, justru menimbulkan penderitaan. Lihatlah yang terjadi di Irak, Afganistan, dan kini Libya.

Focus mereka sebenarnya bukan pada upaya mendukung kedaulatan negara tersebut, tapi berupaya melakukan penjajahan gaya baru dengan memasang boneka sebagai agen di pemerintahan.

Dengan demikian, mudah saja sumber-sumber kekayaan dialirkan pada sang dalang. Ini patut direnungkan oleh mereka yang hendak memerdekakan diri. Niat hati ingin merdeka, jangan sampai secara tidak sadar justru jatuh ke dalam penjajahn gaya baru. Papua milik kita, NKRI. Selamatkan!