Oleh: Jusman Dalle*
Dimuat di OPINI Koran Banjarmasin Post Edisi Sabtu, 22 Oktober 2011
Sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi patron ekonomi global, selama ini diyakini dan diagung-agungkan mampu menyejahterakan umat manusia.
Namun kini, keyakinan itu tinggal mitologi yang sama sekali jauh dari realitas. Eropa, Amerika dan bahkan Asia telah terguncang.
Sambut menyambut negara-negara di benua biru tersebut gulung tikar. Rakyat muak melihat disparitas ekonomi. Ekspresi kekesalan mereka tumpahkan dengan aksi demonstrasi. Wall street yang selama ini menjadi ikon dan parameter ekonomi global, dikecam tidak kurang di lebih 83 negara.
Ekonomi global yang dikonstruksi oleh sistem kapitalisme dengan wajah neoliberalisme yang menumpangi sistem pasar bebas tidak lagi diterima sebagai sistem yang mampu menyejahterakan masyarakat. Pasar bebas, neoliberalisme dan kapitalisme tak lebih dari sekedar ilusi yang dikonstruk sistem rapuh.
Ketamakan kaum kapitalis dengan menihilkan moral value dalam menjalankan bisnis, menyebabkan bangunan ekonomi hanya besar dalam angka-angka statistik namun rapuh fundamen utamanya. Maka hal tersebut sesungguhnya merupakan alarm bagi para pengusaha muda untuk membangun bisnis yang berpihak pada rakyat, yang menggerakkan sektor ril dan menjauhkan dari praktik ekonomi rente.
Menarik melihat korelasi delegitimasi sistem ekonomi kapitalisme tersebut dalam kerangka konstruksi positivisme entrepreneur muda. Bahwa Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) merupakan organisasi lintas sektor usaha, terlebih lagi sebagian besar anggota HIPMI adalah penggerak sektor ekonomi mikro, ekonomi ril yang selama ini tahan krisis.
Oleh karenanya, kita berharap bahwa gong Musyawarah Nasional (Munas) ke 14 yang telah ditabuh, tidak saja diretriksi dalam sekat Hipmi semata, akan tetapi munas ini haru menjadi framing untuk melihat Hipmi dengan paradigma globalism. Organisasi yang digawangi kalangan anak muda dan telah berkontribusi riil dan mewarnai bangsa melalui entrepreneur ini, harus lebih jauh lagi memainkan peranan global.
Hipmi melalui 40.000 anggotanya tersebar di 33 provinsi turut andil dalam menggerakkan perekonomian bangsa 39 tahun terakhir. Di tengah intaian efek demam krisis yang membuat ekonomi global meriang, munas kali ini tentu menjadi momentum strategis untuk merumuskan master plan agar Hipmi berperan lebih jauh sebagai sabuk pengaman ekonomi nasional.
Dalam perjalanannya di masa depan, di mana globalitas telah meruntuhkan sekat geografis, terjadi konektivitas antar benua sehingga proses niaga semakin mudah, maka Hipmi akan diperhadapkan pada sejumlah tantangan.
Pertama, pasar bebas yang ditandai dengan penandatangan sejumlah free trade agreement (perjanjian perdagangan bebas) seperti China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) yang dampaknya sangat terasa saat ini. Membanjirnya produk impor dengan daya tawar yang lebih tinggi menyebabkan produk lokal terseok karena ketidaksiapan untuk bersaing.
Keadaan semakin parah oleh sikap abai pemerintah dan bahkan mengeluarkan kebijakan yang meliberalisasi pasar, seperti pada produk sektor pertanian yang merupakan komoditas utama yang sebenarnya bisa diproduksi oleh masyarakat lokal.
Lemahnya pendampingan kepada pengusaha lokal yang tidak mampu mendorong sektor hulu untuk memproduksi komoditas unggulan, menyebabkan produk impor laris mulus dipasaran. Oleh karena itu, menjadi tugas dan tantangan Hipmi untuk mendampingi dan mewadahi pengusaha-pengusaha lokal, dimulai dari hulu hingga hilir agar mereka bisa bersaing.
Kedua, bangsa Indonesia saat ini menjadi negara dengan berpenduduk terbesar ke empat di dunia dengan jumlah penduduk sekitar 237 juta jiwa per 2011, setelah China, India dan Amerika Serikat.
Dalam kacamata pasar ekonomi global, Indonesia menjadi sangat seksi untuk dieksplorasi lebih jauh. Apa lagi dengan budaya konsumtif masyarakat yang sudah menjadi gaya hidup. Para entrepreneur muda seharusnya menjawab peluang ini dengan sinergitas yang dibangun bersama pemerintah.
Ketiga, proyeksi pergeseran kekuatan ekonomi global ke Asia berdasarkan analisis sejumlah lembaga internasional seperti Standard Chartered Bank, menjadi peluang emas oleh pelaku bisnis di Indonesia memanfaatkan momentum membangun jejaring bisnis regional atau per kawasan.
Oleh karenanya, Hipmi perlu mendorong lahirnya kesadaran masyarakat akan potensi tersebut yang diikuti oleh pembinaan bagi mereka yang telah sadar untuk terjun ke dunia bisnis.
Keempat, di tengah bayang-bayang krisis global yang diakibatkan oleh terjadinya ketimpangan ekonomi akibat praktek kapitalisme yang menihilkan peran pertumbuhan ekonomi sektor ril yang berbasis usaha mikro kecil dan menengah, maka Hipmi harus mampu menjadi sabuk pengaman bagi usaha-usaha lokal dan ekonomi secara nasional agar tidak terpengaruh oleh dampak krisis.
Jaringan Hipmi di 33 provinsi, harus dimanfaatkan untuk menjaga ketahanan ekonomi dan dunia usaha. Sinergi antara komoditas daerah dan potensi pasar Indonesia perlu dioptimalisasi.
Kelima, proses regenerasi entrepreneur muda. Saat ini jumlah entrepreneur Indonesia hanya 0,24 persen dari total penduduk. Jumlah entrepreneur muda 0,18 persen, sangat jauh berbeda dengan negara Malaysia misalnya yang jumlah entrepreneur mudanya mencapai 16 persen. Oleh karena itu, harus ada kampanye masif sebagai langkah regenerasi.
Potensi terbesar untuk menyemai entrepreneur baru adalah dari lembaga pendidikan, baik kampus maupun sekolah, dengan pertimbangan bahwa lembaga pendidikan menyiapkan referensi bisnis lebih sistematis sehingga mengeliminir potensi try and error yang sering kali banyak menyebabkan pengusaha pemula berguguran di jalan bisnis.
*Pengamat Ekonomi Politik Society Research and Humanity Development (SERUM) Institute
*Ketua Kompartemen Media dan Komunikasi Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) PT Sul-Sel