Antara keseriusan memperbaiki kinerja KIB II atau menekan mental partai politik yang memang sering menyibukkan "keluarga besar" koalisi yang pada awalnya diharapkan memback up pemerintahan SBY-Beodiono.
Manuver dari Istana seputar reshuffle tersebut selain dilakukan oleh Presiden SBY melalui komentar langsung kepada para wartawan "tunggu tanggal mainnya", juga dilakukan oleh juru bicara dan staf khusus Presiden.
Salah satu statement yang menarik kita kaji adalah apa yang disampaikan oleh Daniel Sparingga. Menurut Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik tersebut, salah satu target pemerintahan SBY-Boediono pasca reshuffle adalah terbentuknya KIB II yang akseleratif.
Namun pertanyaannya, seriuskah SBY melakukan reshuffle untuk mengakselerasi pemerintahannya yang selama ini memang dirasakan kelambanannya?
Secara sepintas, sebenarnya kita sudah bisa menebak jika wacana "akselerasi kabinet" tersebut hanya pepesan kosong. Penulis melihat bahwa SBY melalui jubirnya mengeluarkan statemen tersebut hanya sekedar untuk meredam gejolak pesimisme publik atas wacana reshuffle.
SBY hendak memberi ekspektasi bahwa reshuffle ini akan betulu-betul diprioritaskan untuk kepentingan rakyat sehingga tak perlu ada protes, dan mereka yang mengeritik wacana reshuffle adalah kelompok yang tidak berfihak pada rakyat. Stigma dan ekspektasi ini yang ingin dikonstruksi SBY.
Idealnya memang seperti itu. Namun politik bukanlah idealitas tapi lebih didominasi oleh realitas yang bernafas pragmatisme. Dalam kalkulasi politik, wacana reshuffle yang akan melahirkan kabinet ideal masih menjadi ilusi.
Pertama, faktanya bahwa selentingan kabar bahwa menteri-menteri dari parpol akan diganti oleh kalangan profesional sudah menimbulkan gejolak politik yang menekan mental SBY.
Hal ini terlihat dari manuver Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tentang adanya kontrak khusus antara PKS dengan SBY yang kemudian manuver ini diikuti oleh peemanggilan oleh SBY kepada menteri-menteri asal PKS. Menurut keterangan salah satu menteri bahwa dalam pertemuan tersebut, SBY berpesan agar PKS menjaga kondusifitas politik.
Kedua, sebagian besar menteri-menteri yang dinilai gagal adalah mereka yang berasal dari kalangan partai politik, baik itu Ketua Umum Parpol, Mantan Ketua Umum atapun petinggi-petinggi parpol yang memiliki power atas parpolnya dan diharapkan oleh SBY bisa memback up pemerintahan di parlemen.
Dalam kondisi demikian, SBY sebagai Presiden yang kita kenal "sangat hati-hati" atau takut mengambil resiko, tentu menjadi dilema untuk mengeluarkan sang menteri dari KIB II. SBY tersandera.
Ketiga, selama ini pos kementrian merupakan lahan subur bagi parpol untuk "mengepulkan dapurnya". Oleh karena itu, berbagai manuver yang menggelisahkan SBY tentu saja menjadi pemandangan biasa, karena parpol sedang menjaga eksistensi kursi kadernya di pemerintahan. Manuver ini beririsan dengan karakter kepemimpinan SBY yang senang merangkul, asal "sama-sama senang".
Dalam kondisi demikian, kita bisa menebaka bahwa arah reshuffle kabinet tidak jauh-jauh dari kabinet rente, dan janji janji akselerasi serta apologi artifisial yang datang dari Istana hanyalah ilusi. Rakyat tidak bisa berharap bahwa reshuffle membawa perubahan bagi kehidupan bangsa ini.
Di sisi lain, pemerintahan presidensial memang tidak relevan dengan sistem multipartai apa lagi di era demorkasi liberal seperti yang terjadi di negeri ini. Kondisi tidak sinergisnya antara legislatif dan eksekutif akan terus berulang. Hak prerogatif Presiden hanya tongkat lapuk yang tidak punya daya pukul, karena selalu takluk pada permainan politik di Senayan.
Cara terbaik untuk mengimbangi kondisi serba dilematis ini adalah keberanian (kepemimpinan kuat) Presiden dalam bersikap. Tentunya sikap yang pro rakyat. Dengan demikian, maka kebijaka-kebijakan pro rakyat akan mendapat dukungan dari rakyat sebagai pemegang daulat.
Jika parpol menghadang kebijakan-kebijakan tersebut, maka resiko hilang legitimasi dari rakyat yang berarti alamat kematian parpol. Oleh karena itu, yang pertama kali harus berubah dalam dimensi reshuffle ini adalah karakter pemimpinnya, Presiden SBY. Wallahu’alam
*Penulis adalah Analis Ekonomi Politik SERUM Institute, Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)